Ini bagian terakhir dari tulisan tentang ceracau diskusi tentang musik. Ada pertanyaan dari audiens tentang Letto dan bagaimana dia mengarang lagu. Jawaban yang mengesankan dari Bang Noe adalah sebagai berikut (berdasarkan jejak rekam catatanku, dan semoga aku tidak mengarang yang tidak-tidak).

Pertama, bang Noe dan kawan-kawannya telah berteman sejak SMA di jogja (buka di wikipedia tentang Letto). Persahabatan mereka karena kesamaan dalam diskusi dan dalam hal musik. Mereka mengarang lagu dan membuat diskusi tentang musik-musik yang mereka sukai. Mereka melakukan itu karena hobi dan senang dengan hal itu. Makanya ketika ada pertanyaan audiens yang mengaku punya talenta tetapi sering pesimis, pesannya adalah nikmatilah apa yang menurutmu itu menjadi talentamu dan jalani dengan cinta sehingga setiap hal yang terjadi adalah indah baginya.

Awal mula masuk dapur rekaman pun, itu bukan karena mereka mengajukan ke produser. Mereka tidak pernah berniat mengajukan ke produser. Bahkan ketika ada produser yang menawari rekaman dengan catatan lirik lagunya diubah ke bahasa Indonesia (kebetulan liriknya bahasa Inggris), beliau menolak keras dan membiarkan sang produsen bolak-balik memikirkannya sampai akhirnya disetujuilah rekaman dari lagu-lagu yang pernah mereka buat sejak masih SMA. Menjelang peluncuran album, terjadi geger lagi karena belum ada nama untuk grup band tersebut. Akhirnya muncullah nama LETTO, yang kata bang Noe itu ga punya arti yang fenomenal, ya karena album mau diluncurkan makanya harus ada nama grup pembuatnya.

Ketika ada pertanyaan, kenapa albumnya Letto ga muncul-muncul lagi. Dengan santainya beliau menjawab, kami bukan ingin kejar tayang. Mengarang lagu itu tidak seperti membuat tulisan sampah. Perlu menghadirkan perasaan dan menemukan momentumnya. Dan yang lebih membuat audiens tertawa adalah albumnya tidak muncul-muncul karena belum tergerak untuk buat album, dan beliau lontarkan dalam celotehan bahasa Jawa.

Akhirnya aku ingin menyampaikan bahwa membangun visi bersama itu sangat penting. Hal yang paling mendasar dan akan mengikat orang-orang yang berkumpul adalah kesamaan visi dan destinasinya. Makanya ketika orang berada di organisasi itu tidak memahami visi organisasi atau tidak mensinergikan visinya akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan di organisasi. Tapi itu masih mendingan karena akan terjadi perang yang mengasyikkan sebagai bagian dari dinamika organisasi. Tetapi jika di organisasi orang-orang no vision bahkan without vision, remuklah organisasi itu, bahan percobaan dan bahan permainan saja. Ujung-ujungnya kalau tidak berkutat pada masalah prestis ya pencitraan saja. Padahal dua hal itu menagih biaya mahal, baik biaya finansial maupun biaya tak terlihat yang bernama kehormatan.

Apakah LETTO akan terus eksis? Kita doakan iya, jika memang mereka berangkat dari visi yang jelas. Dan kita pikirkan saja masalah kita hari ini. Sudahkah kita terbiasa membangun visi seperti ceritanya Letto tadi. Atau jangan-jangan kita lebih nyaman memiliki adik-adik yang menjadi “anak manis” di mata kita. Aku lebih suka memiliki singa-singa yang beringas yang kubesarkan sejak kecil. Mungkin satu dua mereka akan lepas dan mengembara di alam bebas, tapi di mataku mereka terhormat. Dan aku yakin akan banyak yang menjadi singa-singa pemberani yang siap menaklukkan singa yang lepas tadi. Rivalitas ini akan menyehatkan iklim dinamika organisasi kita yang sering terkekang dalam status quo. Maka tidak ada istilah tuntaskan perubahan, tetapi selalu lakukan perubahan agar tercapai kemapanan di setiap masanya.

(Diskusi Dengan Bang Noe dan Bang Prima)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.