Terima kasih Allah, kau berikan kepadaku Ayah dan Bunda yang selalu menyayangiku. Kira-kira itulah kesan yang terucap sesaat diriku menyelesaikan buku yang ditulis oleh Irfan Hamka, salah satu putra dari tokoh besar umat Islam Indonesia, HAMKA.
Nama HAMKA yang tak lain adalah singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah, adalah ulama, politisi, sekaligus seorang ayah yang sangat menginspirasi. Buku, Ayah …. yang ditulis oleh Irfan Hamka dan diterbitkan oleh Republika ini merupakan sebuah tuturan yang mengungkap kesan mendalam seorang ayah kepada ayahnya yang kini telah mangkat.
Tak hanya umat Islam, bahkan bangsa ini rindu akan lahirnya kembali sosok sekaliber buya Hamka. Bahkan pidatonya tak hanya didengar oleh kalangan umat Islam se tanah air, saja. Dialah salah satu pilar yang tegak menentang komunisme dan memperjuangkan hak-hak umat Islam yang kala itu terus berusaha disisihkan oleh komunisme dan kemudian oleh orde baru.
Tokoh yang pernah menulis novel romantis Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah negarawan yang teruji dan patut diteladani. Kita patut mencontoh sikap beliau yang begitu mudah memaafkan kepada rival politiknya sekalipun. Dari tuturan Pak Irfan pula, kita akan melihat betapa negarawannya para generasi pendiri negeri ini meskipun secara ideologi dan politik mereka berseberangan satu sama lain.
Inilah kata-kata tiga tokoh nasional yang kita tahu ideologi dan mainstream politik mereka bersebarangan dengan HAMKA. Tetapi apa kata mereka, simaklah ini
Saya ingin bila wafat kelak, Hamka bersedia mengimami shalat jenazahku. [Ir. Soekarno]
Bila saya wafat, tolong Hamka bersedia menemani di saat-saat akhir hidupku dan ikut mengantar jenazahku ke kampung halamanku di Talawi. [Moh. Yamin]
Saya lebih mantap mengirim calon menantuku untuk di-Islam-kan dan belajar agama pada Hamka, meski kami berbeda paham politik. [Pramoedya Ananta Toer]
Saksikan betapa agungnya para pendahulu kita dalam memberikan penghormatan satu sama lainnya meski berseberangan secara pemikiran. Hamka pun menunaikan semua permintaan ketiga rivalnya itu dan ketika ditanya tentang ketiganya, maka Hamka menyatakan bahwa apa pun yang telah dilakukannya di masa lalu, maka ia telah memaafkannya.
Maka Hamka menepati janjinya jadi imam shalat jenazah presiden Soekarno, mengantar jenazah Moh. Yamin ke kampung halamannya, dan menjadi guru agama bagi calon menantu Pramoedya Ananta Toer. Sebuah pelajaran langka yang hari ini mungkin sulit sekali kita dapati dari kalangan tokoh nasional. Yang ada saat ini adalah mantan presiden pendendam, capres yang mencla-mencle, dan capres yang mutungan dan sulit move on. Maka membaca buku Ayah … ibarat oase yang membuka ruang kesadaran kita untuk menjadi orang Indonesia yang waras dan generasi muslim yang kokoh.
HAMKA kini telah wafat, dia ayah yang mengagumkan, sekaligus tokoh bangsa yang tidak tergantikan. Dia menjadi permata di masanya, menemani Mohammad Natsir memperjuangkan tegaknya nilai-nilai Islam di negeri ini. Hingga akhirnya hari ini, umat Islam terus difitnah dan dihalangi untuk mendapatkan hak-haknya secara konstitusi dengan berbagai omong kosong media massa yang berkicau di atas kebodohan mayoritas bangsa Indonesia yang notabene adalah umat Islam.
Dan aku tidak akan mengatakan bahwa seandainya ayahku adalah Buya Hamka, justru aku akan mengucapkan rasa syukur dilahirkan dari kedua orang tuaku yang penyayang. Aku bukan putra Buya Hamka, tapi aku bersyukur bisa mempunyai orang tua yang membuatku kini bisa belajar dari sosok Buya Hamka. Terima kasih Allah.
Saya sangat merekomendasikan buku ini untuk dibaca semua anak negeri yang rindu akan kebangkitan Indonesia, khususnya generasi umat Islam yang hari ini masih gemar berseteru satu sama lain.