Di antara yang terjebak dalam utopia politik Islam adalah menggelorakan hal-hal yang sifatnya puncak tetapi sejatinya kosong dalam membangun pondasinya. Mereka bilang ini itu soal kekuasaan membabi buta tanpa melihat konteks kehidupan yang sekarang. 

Bisa ditanyakan berapa referensi yg sudah dibaca tentang shirah dalam berbagai lintas sudut pandang yang dia baca sejak Ibrahim, hingga bani Israil berkuasa, lalu masa bangsa Arab sebelum kelahiran Rasulullah, konstelasi politik yang terjadi hingga masa Rasulullah berkuasa, lalu para khalifah rasyidah, lalu para raja dari Dinasti Umayyah, Dinasti Abasysyiah dan Dinasti Utsmaniyah apakah juga dicermati perubahan konstelasi politiknya.

Seringkali kita saat ini hanya melihat kejadian-kejadian itu secara parsial lalu membuat kesimpulan atas tema yang kita sukai saja. Dan secara tidak langsung inilah mengapa akhirnya perjuangan menegakkan syariat Islam terpecah-pecah menjadi banyak pergerakan yang parahnya saling mengejek satu sama lain. Kader-kader yang dididik di madrasah pergerakan itu cenderung berpikir dalam opini para guru-gurunya, tidak meluaskan wawasannya untuk menemukan permata peradaban yang agung ini.

Inilah tantangan yang sesungguhnya. Menggabungkan semangat untuk senantiasa belajar dan bersabar atas perbedaan yang masih terbuka lebar ini. Membuka ruang diskusi yang hangat dan menahan diri dari memaksakan kehendak saat menyuarakan kebenaran. Karena targetnya adalah menangnya kebenaran, bukan kerasnya suara kita yang menggaung-gaung untuk mendapat pujian.

Dan untuk mereka yang apatis pada politik, sudahlah abaikan saja karena memang tidak ada gunanya berurusan dengan mereka. Apalagi jika apatisme mereka itu ideologis, sia-sia saja mendebat yang seperti itu.

Facebook

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.