Ibrah yang bisa kita petik adalah sehebat apa pun kita, maka menjaga keistiqomahan itu adalah keniscayaan. Kita bisa saja berkata tentang hal-hal besar, mimpi-mimpi besar, bahkan sebuah rencana besar. Tetapi mempertahankan keistiqomahan dalam visi itu, kemudian mengiringinya dalam proses belajar yang tak kenal lelah, hingga berfikir di luar batas nalar dan kebiasaan manusia untuk meraih sarana dan kemenangan yang dijanjikan itu sesungguhnya hal terpenting yang harus senantiasa dijaga. Mungkin itulah ujian yang harus kita lewati, khususnya bangsa Indonesia ini yang ingin melepaskan diri dari penjajahan dan berbagai kesengsaraan ini.
Butuh pemimpin yang jujur dan penuh integritas. Butuh keberanian pemimpin untuk tegas dan siap mati. Butuh kepedulian rakyat untuk belajar dan mengerti kemudian menjadi partner para pemimpinnya. Butuh sinergi dan ketaatan yang didasari oleh ketakwaan. Maka selagi korupsi dan kebencian masih berakar pada kepala orang-orang yang memerintah maupun yang diperintah maka mimpi Indonesia merdeka itu akan tetap menjadi imaginasi. Bagaimana pahlawan kita telah wafat hingga tokoh-tokoh terbaik yang dimiliki bangsa ini telah berjuang sedemikian keras, seharusnya menjadikan kita kembali bangkit untuk meneladani mereka.
Mungkin kita perlu merubah istilah dari generasi penerus menjadi generasi pemimpin berikutnya. Generasi penerus itu terkesan hanya menjadi pembebek yang tidak memiliki inisiatif. Padahal setiap masa itu masalahnya berbeda, dan setiap masa itu butuh ketajaman pikir untuk menyelesaikannya. Kata Ust. Muchtarom, jadilah kita mahasiswa yang peka zaman. Dakwah Islam itu tidak melulu dengan cara yang monoton, tetapi butuh keluwesan dan cara-cara yang paling sesuai untuk zamannya. Jadi kesimpulanku, kita harus jadi generasi pemimpin berikutnya, buklan generasi penerus.