Ini hanya sekedar refleksi atas sebuah peristiwa yang sering terjadi namun dianggap biasa saja, termasuk diriku yang baru tersadarkan setelah melihat peristiwa ini. Ceritanya adalah ketika dalam sebuah organisasi ada seorang yang sudah didaulat sebagai pemimpin (its mean bahwa forum percaya dialah yang terbaik di antara yang baik, dialah yang paling layak di antara yang layak). Maka itu artinya semua SDM di organisasi itu dituntut loyalitasnya untuk mewujudkan visi dan misi dasar organisasi itu melalui koordinasinya sang pemimpin (dengan asumsi sang pemimpin dan orang-orang yang dipimpin sama-sama ngerti ruh dasar organisasi itu). Namun sebuah pemandangan aneh terjadi di permulaan bahwa ternyata sang pemimpin seperti dibonsai oleh orang-orang terdekatnya sendiri (wazir-wazir kepercayaannya) yang seenaknya izin (bahkan tanpa konfirmasi atau mendadak cancel) padahal agenda itu sudah dipersiapkan lama dan lebih-lebih adalah sebuah agenda public yang menyangkut kepentingan orang banyak.
Sang pemimpin memang harus sabar, karena kalau tidak sabar itu lebih berbahaya. Tetapi bagi rakyat yang dipimpin haruskah memaklumi berbagai kekurangan yang terlihat oleh mata mereka. Bagaimana bisa para wazirnya pergi sedangkan membiarkan berbagai hal berlalu begitu saja tanpa sebuah kejelasan. Apa masalahnya? Mentang-mentang pemimpinnya lembut lantas semaunya, toh izin juga enak kok (plak, menampar pipiku sendiri ini). Atau kemudian banyak maklum saja lah, namanya juga manusia, kan tempat khilaf dan salah. Di kemudian hari kita juga sepertinya akan hal yang lebih gila terjadi, rakyat harus maklum ketika BBM dinaikkan karena negara sudah terlalu lama mensubsidi (seolah-olah negara berbuat baik pada rakyat, lho bukankah membuat BBM murah atau gratis itu memang kewajibannya pemerintah, kok rakyat diajak berpersepsi seolah-olah negara berbuat baik, sedangkan di sana masih belepotan korupsi). Atau kemudian ada pulau yang dihibahkan ke negeri tentangga, alasannya kita kan kaya, satu pulau kan cuma kecil. Sang pemimpin hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah laku para wazirnya yang sangat pethakilan ini. Bingung mau berbuat apa.
Mungkin jika negara hari ini lagi kacau (katanya memang lagi seru-serunya pertarungan ideologi, jadi ceritanya negara asing yang pada punya kepentingan untuk jualan monopoli sampai gresek sampah emas di negeri ini lagi asyik memainkan pion-pion di Senayan untuk melawan para pejuang kemerdekaan yang masih tersisa yang ingin mengembalikan kewibawaan para pemimpin negara ini, menegakkan kembali kepemimpinan yang dulu pernah jaya dan menjayakan bangsa, jasmerah ya) maka lihat saja dari institusi-institusi kecil yang ada di bawahnya. Sepertinya juga tidak jauh beda. Yang sudah dipercaya sebagai pemimpin terkadang tidak ditempatkan sebagai pemimpin. Dilancangi sana, dilancangi sini. Meski juga terkandg masalahnya standar kepemimpinan minimal sang pemimpin dianggap belum dipenuhi.
Banyak sekarang yang terjadi pemimpin-pemimpin boneka, maksudnya pemimpin yang dipertanyakan kepemimpinannya. Bisa jadi ini masalahnya pada rahim kaderisasinya atau memang karena sebuah kepentingan yang sedang bekerja (seperti para cukong asing yang merasa terusik kepentingan ekonominya oleh para veteran kemerdekaan yang terus gigih meneruskan Pangeran Diponegoro dan Jenderal Soedirman di parlemen). Jika masalahnya di rahim kaderisasi maka insya Allah dengan upaya perbaikan yang kontinyu nanti juga akan terlahir pemimpin-pemimpin yang berkualitas. Tetapi jika masalah mendasarnya adalah tekanan kepentingan asing ini jadi lain ceritanya, apalagi jika basisnya adalah capital.
Adapun yang aku tertarik untuk membahasnya adalah jika masalahnya pada rahim kaderisasinya. Hari ini banyak system kaderisasi yang masih harus diperbaiki (bisa jadi sistemnya bagus tapi prakteknya parah, atau sistemnya ruwet sehingga tidak bisa dipraktekkan, atau karena tidak ada sistemnya) untuk mewujudkan visi perjuangan yang luar biasa. Bagaimana pun kaderisasi adalah sesuatu yang menjadi tulang punggung utama organisasi atau pergerakan, jadi yang lain boleh hancur, tapi sector ini tak boleh sedikitpun goyah.
Dalam tataran organisasi mahasiswa ini sering jadi permasalahan dan perdebatan yang seolah tidak berujung karena lebih dominannya ego dari pada memikirkan kesamaan yang mungkin untuk dicapai atau usaha keras menemukan bahasa pikiran yang sama. Seringnya pecah kongsi dan kubu-kubuan karena ada bahasa yang tidak pertemu padahal sebenarnya lifeplannya sama. Antipati kelompok jadi masalah. Atau ada yang juga tidak jarang menjadikan organisasi ini sebagai batu loncatan saja, kalau sudah berhasil meloncat ya sudah lantas ditinggalkan saja biar organisasinya mampus.
Maka untuk mengatasi hal-hal yang sifatnya rebutan makanan begitu, maka sang pemimpin harus tegas agar wajah yang tadi masih menoleh ke segala arah dapat menghadap ke arah yang sama, perkara mau sambil makan, sambil pakai kacamata atau sambil nongkrong di atas empang. Dan di sinilah kewibawaan sang pemimpin itu diperlukan untuk mengatur barisan yang pating plekethot itu untuk menjadi teratur dalam arah dan berada posisi yang tepat. Lagi-lagi kewibawaan ini muncul karena aura yang dimiliki pemimpin sebagai hasil perkalian antara kebaikan pribadinya ditunjang kecerdasan pikirnya. Kebaikan pribadi itu naik ke langit, sedangkan kecerdasan pikirnya adalah seperti gelombang longitudinal yang melintasi horizon. Pemimpin yang berwibawa, bagaimana pun kacaunya organisasi insya Allah akan berhasil ia kendalikan untuk diperbaiki dan diarahkan kembali hingga menuju destinasinya.
Mungkin tulisan ini sangat rumit untuk dimengerti, itulah terkadang aku tak bisa menuliskan apa yang ada di kepalaku dengan sistematis. Ringkasnya, hari ini terlihat sosok pemimpin yang seolah diabaikan oleh para wazirnya. Padahal di mata kami ia adalah sosok pemimpin yang terbaik di setelah kami. Apakah karena dia tidak berwibawa, atau kami yang gagal melakukan kaderisasi sehingga wazir-wazirnya tak bisa mengerti pentingnya kewibawaan orang yang memimpinnya. Aku memilih kami mungkin gagal mengajarkan kepada para wazir itu tentang adab-adab dalam kepemimpinan.
Semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kami yang juga akan meneruskan kepemimpinan di tempat yang lain. Negara ini akan kuat ketika rakyat ini perhatian kepada para pemimpinnya (artinya tidak hanya mencaci tapi juga berusaha keras memilih pemimpin yang relatif paling baik dari yang baik, atau yang keburukannya relative sedikit di antara yang buruk), dan pemimpinnya memantaskan diri dengan segala kapasitasnya agar bisa menyandang wibawa. Kita boleh bilang politik itu kotor, tapi apakah hari ini kita lantas bilang tidak usah peduli amat dengan pemerintah, ketika para wazirnya sang pemimpin semakin pelit pada rakyat tapi sangat pemurah kepada asing. Padahal pemimpin itu ada untuk rakyatnya, kewibawaannya untuk melindungi rakyatnya dan menjamin kesejahteraan rakyatnya. Tapi wazir-wazirnya telah menggerogoti kewibawaannya di mata rakyat (atau memang sang pemimpin juga tidak layak memiliki wibawa). Mari kita amati pemimpin kita dari yang terkecil hingga terbesar, kemudian kita ukur diri kita seberapa besar kontribusi kita menjaga kewibawaannya (menasihati mereka, mendukung kebaikan mereka, dan membantu mereka dalam hal-hal yang penting untuk kemaslahatan).