Masuk ke Kelas Pertama Kali

Usai berdiskusi dengan kepala sekolah kami pun ke kantin untuk sarapan sebentar. Karena waktu sudah matahari sepenggalah, rupanya kantin pun akan segera tutup karena jualan sotonya ibu RT sudah akan habis. Beruntung kami adalah dua pelanggannya yang terakhir yang masih bisa menikmati soto. Karena jika tidak, kami tak akan dapat menikmati sarapan pagi dengan nasi kecuali hanya membuat mie atau mengemis di rumah-rumah penduduk. Atau jika ingin jajan, maka harus ke pasar Adji Dilayas yang jauhnya 12 km dari Samburakat. Masa iya, demi sebuah makan pagi. Ironis kan.

Pagi itu kata pak kepala sekolah, 5 anak buahnya sedang absen dengan kegiatan mereka masing-masing. Yang 2 orang sedang sertifikasi, yang 2 orang sedang menjalani pelatihan kurikulum 2013, yang seorang sedang ada keperluan lain tanpa perlu kami tahu apa itu. Maka beberapa kelas hari itu kosong dari pengajarnya karena dari 5 orang tersebut, 3 di antaranya guru kelas. Jadilah mas Baihaqi pun guru kelas, meskipun tugasnya yang sebenarnya adalah pendamping sekolah. Akhirnya aku pun menawarkan diri untuk membantu mengisi jam mengajar IPA.

Begitu memasuki kelas VI, ternyata di sana sudah ada Faisal, anak sulung tetangga sebelah yang sering konser di siang hari. Bersama dengan teman-temannya yang lain mereka tampak begitu terkendali ketika kami berdua memasuki kelas tersebut. Sepertinya ajaran bahwa guru itu adalah sosok yang dihormati (mungkin juga ditakuti) berlaku di sini. Benarkah? Mungkin itu hanya dugaanku saja.

Pelajaran IPA hari ini kuisi permainan untuk menyebutkan nama-nama hewan yang mereka kenali. Kuminta mereka menuliskan sebanyak-banyaknya. Ternyata ada yang memang tahu banyak tentang hewan sekaligus membayangkan bentuknya. Tetapi ada juga yang baru berhasil menulis kurang dari 30 hewan yang dia kenal. Setelah itu dengan sedikit penjelasan yang mudah, kuulang pelajaran tentang perkembangbiakan hewan dengan bertelur, beranak, dan bertelur beranak.

Salah satu masalah yang tiba-tiba muncul adalah buku paket anak-anak menyebutkan bahwa paus berkembang biak dengan bertelur dan beranak (ovovivipar). Kok bisa ya? Bukankah paus itu hewan mamalia. Dan bukankah paus itu melahirkan anak-anak dan menyusuinya sebagaimana hewan mamalia yang lain. Ah, ini aku yang tidak up to date atau bukunya yang ngacau (maksudku penulis buku dan editor isinya yang eror). Jika konsep ini memang konsep salah, maka ratusan kepala berarti telah mengalami kesalahan konsep sejak awal.

Tapi sudahlah, hari ini aku melihat anak-anak yang ceria. Anak-anak desa yang polos seperti ini lebih mudah diarahkan untuk belajar ketimbang anak-anak di kota yang sudah terkontaminasi aneka racun peradaban. Aku hanya khawatir di kemudian hari anak-anak yang polos ini pun akhirnya tak mampu bertahan dengan gempuran modernisasi yang membuat mereka nanti menjadi “orang lain”. Di tanah ini, uang bukan hal yang dipermasalahkan karena penghasilan orang-orang di sini sudah jauh melampaui pendapatan umumnya orang-orang di Jawa. Kekayaan alam semua tersedia meskipun dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing dan swasta. Tapi setidaknya penduduk lokal yang bekerja sebagai buruh kasar saja dapat meraup pemasukan bulanan yang melangit. Kurang apa lagi.

bersambung …

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.