Bincang Budaya
Setelah para peserta cukup beristirahat, usai Ashar acara pembukaan dimulai. Alhamdulillah kebagian nampang jadi MC merangkap moderatornya (maklum, temu nasional ini hanya dihandel 8 orang, plus 2 additional player). Hadir di sini KGPH Dipokusumo atau yang dikenal dengan Gusti Dipo dan Dr. Lukman Hakim, selaku Pembantu Dekan III FE, mewakili Pembantu Rektor III UNS. Dalam bincang budaya itu, dibahas sejarah Solo dan kepemimpinannya. Sebagai salah satu bagian dari keluarga keraton Surakarta, ternyata Gusti Dipo mampu menguraikan banyak hal di luar ekspektasiku, bahkan diluar ekspektasi para panitia. Amazing pokoknya!
Singkat cerita, ada pokok-pokok nilai kepemimpinan yang menancap di pikiranku. Hari ini semua telah berubah, tata nilai kehidupan masyarakat Jawa telah mengalami banyak perubahan. Namun demikian, tidak berarti kita membiarkan westernisasi mengobrak-abrik tata nilai yang dimiliki masyarakat timur ini. Menggali dari nilai-nilai budaya untuk perbaikan kepemimpinan bangsa perlu segera dilakukan oleh generasi muda hari ini. Hal ini tidak selalu identik dengan melestarikan budaya dalam pengertian praktis, tapi bagaimana filosofi-filosofi yang terkandung dalam budaya kita mampu direfleksikan sebagai spirit kepemimpinan bangsa yang baru.
Gusti Dipo juga menasihati agar para generasi muda menjaga spirit KKN (bukan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), yaitu Komitmen, Konsisten, dan Networking. Selain itu, seharusnya para aktivis kampus hari ini harus terus berjejaring agar terlahir konsep pembangunan bangsa yang menitikberatkan pada keunggulan komparatif, kompetitif, dan kooperatif.
Gusti Dipo menanamkan paradigma bahwa musuh terberat para pelajar, utamanya mahasiswa adalah diri mereka sendiri. Ketika kita tak mampu menguasai diri kita, kita justru menjadikan kawan-kawan kita seperti rival yang harus disingkirkan satu sama lain. Padahal seharusnya sesame pelajar dan mahasiswa itu adalah rekan kerja sama dalam mensinergikan visi dan mimpi untuk bangsa. Konsep yang sudah salah sejak usia sekolah ini menumbuhkan ego sektoral yang semakin menguat, maka ketika menjadi politisi dan pengusaha justru semakin memperpuruk bangsa.
Salah satu masalah yang dihadapi pemimpin bangsa ini adalah hilangnya keunggulan kooperatif yang mereka miliki. Kedewasaan para pemimpin bangsa untuk bisa bersaing sekaligus bekerja sama dan bersinergi dalam membangun bangsa masih menjadi angan yang jauh hari ini di tengah ganasnya persaingan politik yang makin mencirikan kanak-kanaknya sikap para politisi kita. Akhirnya bincang budaya ini memantik antusiasme para Negarawan Muda untuk bertanya kepada kedua pembicara berkaitan dengan pendidikan tinggi dan upaya pelestarian nilai-nilai budaya.
Gelak Tawa di Gedung Wayang Orang (GWO) Sriwedari
Agenda sore telah selesai. Para peserta makan malam dan bersiap untuk kegiatan malam. Yakni mengunjungi salah satu tempat hiburan budaya di taman Sriwedari, Gedung Wayang Orang, tempat pagelaran wayang orang dengan lakon wayang Purwa. Kali ini mengangkat tema “Petruk dadi Wrekudara“, itu adalah tema yang direquest oleh panitia. Dilengkapi dengan LCD dan transeliterasi bahasa Indonesia (agar para peserta yang tidak mengerti bahasa Jawa bisa memahami lakon dengan baik).
Sempat roaming juga dengan bahasa para pandawa saat jejer atau dialog berlangsung. Dan inilah sebuah pelajaran berharga bahwa dalam wayang pun sebenarnya pembicaraan seseorang itu menunjukkan kastanya. Menyimak pembicaraan para tokoh utama wayang rasanya harus pasang antena tinggi agar bisa mengerti apa yang mereka bicarakan. Hal ini sangat berbeda ketika yang sedang berbicara adalah para punakawan yang sedang berdiskusi dan bercanda ria. Mereka cerminan rakyat biasa yang hidup tenang di bawah naungan kepemimpinan yang adil.
Di samping itu, aku juga banyak mengerti mengapa warisan seni budaya yang indah ini kerap bernasib memprihatinkan, kalah oleh gempuran budaya asing yang terus menerus membuat bangsa ini lupa akan jati dirinya. Padahal jika kita mau mengerti, banyak para seniman yang mendedikasikan hidupnya untuk terus melestarikan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam wayang ini, seperti yang sudah diracik oleh para Wali ketika dulu mereka melakukan pendekatan dakwah di tanah Jawa.
Dan yang paling berkesan, para pelaku wayang orangnya mau berbusana lebih tertutup (tidak kembenan) seperti aslinya. Dengan permintaan khusus dari kami, mereka bisa tampil lebih baik dan indah dibandingkan saat mereka menggunakan pakaian yang biasanya.
bersambung ….