Baru-baru ini kita disibukkan berbagai kasus yang menggegerkan. Mulai dari penangkapan para tersangka pelaku korupsi dan sejenisnya, hingga yang paling baru adalah pengambilalihan partai oleh majelis tertingginya. Sangat wow, dan sepertinya membuat para wartawan dan pemilik media menikmati buah keuntungan ini. Termasuk para penikmat media buta yang lupa untuk belajar mengerti kabar dengan seksama.

Seperti yang sudah kuungkap dalam tulisan tentang surah Yusuf, yah bisa jadi hal-hal yang terjadi di masa sekarang itu sebenarnya memang sebuah konspirasi dan perencanaan segelintir orang yang piawai di dunia intelejen untuk membuat masyarakat sibuk bukan dengan urusannya yang penting tetapi ikut-ikutan ngacau dan berbuat tidak penting. Dalam surah Yusuf, orang sebaik beliau, tidak bersalah, di masa lampau lagi, bisa dipenjara, di mana teknologi mungkin tidak secanggih hari ini (karena berdasarkan kabar dalam ayat itu sekaligus analisis sejarah Mesir kuno, teknologi paling mutakhir yaitu ramalan), apalagi sekarang yang sudah sedemikian canggihnya, orang benar dipenjara sangat mungkin, orang salah bebas sangat mungkin.

Jadi sudahlah, wong ya kita nggak tahu mana yang benar dan salah secara jelas sekarang. Bukankah Islam mengajarkan kita untuk berbaik sangka, terlebih kepada saudara kita sesama muslim. Bukankah negeri kita menganut prinsip praduga tak bersalah. Biarlah, biarlah masalah itu selesai pada waktunya nanti. Bukankah ketika orang-orang itu membuat makar, maka Allah akan membalas makar mereka? Bukankah dia itu sebaik-baik pembalas makar musuh-musuh-Nya? Cukup ya.

Sekarang kita lanjut ke masalah yang menurutku sangat penting, yaitu tentang Pak SBY, presiden kita. Bagaimana pun, beliaulah pemimpin negara saat ini, suka atau tidak suka. Hari ini kita disuguhi sebuah perkara yang cukup miris (kalau tidak disebut memalukan), sebuah praktik hegemoni kekuasaan yang menafikan kaderisasi dan penumbuhan kepercayaan kepada pemimpin baru. Dan terlebih lagi, fenomena ini membuat kita bingung, beliau itu Presiden RI atau sedang nyambi jadi Presiden seperti kicauan yang lagi trend di twitter sekarang dengan tagline #nyambipresiden.

Fenomena pertama adalah tentang fungsi kaderisasi partai. Ketika beliau mengambil alih kepemimpinan partai yang seharusnya dijabat oleh mas Anas Urbaningrum maka sesungguhnya ini adalah pembelajaran yang sangat tidak baik. Mengapa? Beliau itu kan mendapat gelar bapak demokrasi dan bapak macem-macem lah sekarang. Masak iya, dalam prakteknya malah seperti ini, terkesan otoriter banget.

Kalau kata uda Yusuf, beliau gagap demokrasi, gara-gara besar di era otoriter, kini terpaksa mengikuti kehendak demokrasi. Terlepas isu mau menjaga kedudukan sang putra mahkota lah, atau menghindari bergesernya tahta kerajaan Demokrat lah, aku ga mau tahu dan juga tidak mengerti.  Yang jelas, ini memprihatinkan dan sekaligus membodohi rakyat yang katanya sedang belajar demokrasi (atau mungkin memang sebenarnya pemaksaan demokrasi saja bagi Indonesia), karena aku termasuk orang yang menyangsikan keberhasilan demokrasi untuk kemakmuran bangsa kita di hari depan.

Bukankah kita dulu pernah punya tata nilai yang membuat kepemimpinan tiap daerah langgeng dan berwibawa. Rakyat mencintai pemimpinnya, berjuang bersama, dan mau rela mati membela tanah airnya. Lupakah kita dengan akar sejarah kita? Mengapa kepemimpinan Indonesia tidak dibangun berdasarkan kearifan itu? Apakah semua harus dengan pemilu dan partai politik sehingga kita harus membayar mahal untuk setiap 5 tahun untuk biaya pemilu, disamping konsekuensinya ada penggelapan dana yang secara nasional jumlahnya bisa mencapai ribuan triliun oleh segelintir elit yang terobsesi jadi pemimpin.

Yang jelas ini pelajaran berharga bahwa negara ini masih harus belajar dewasa tentang kaderisasi dan kepemimpinan. Kita seharusnya khawatir jika negara yang luas ini dipimpin oleh orang-orang yang bermental anak kecil, bukan yang berjiwa patriot. Ketika yang kuat dan merasa berkuasa terbiasa mengambil alih, bukankah ini praktek halus kekuasaan totaliter. Mahasiswa yang membaca fenomena sekarang harus jeli, jangan-jangan yang sudah jadi mantan Presiden BEM, direktur organisasi atau apa lah masih terobsesi untuk melakukan hal yang mirip SBY padahal sudah pegang amanah yang baru.

Kata sahabatku yang malu disebutkan namanya, jangan berbuat macam-macam dan terbiasa mengintervensi kebijakan pemimpin setelah kita. Bagaimanapun, dialah yang sekarang berkuasa, bukan kita. Jadi berilah kesempatan dan nasihat yang baik serta berikan keleluasaan baginya untuk menentukan pilihannya ke depan. Karena itu akan melatihnya untuk bertanggungjawab dan komitmen dalam memimpin ke depan. Bukan dikekang seperti anak kecil saja.

Fenomena yang kedua adalah tentang kepemimpinan SBY. Tidak diragukan lagi beliau adalah presiden kita sampai 2014 nanti (meskipun konon sekarang udah kalah jauh terkenal dibanding Jokowi). Padahal dalam bahasa gamblang dan bahasa lugu rakyat Indonesia, presiden itu adalah pemimpin penuh yang memegang kendali atas negara.

Merujuk pada kicauannya uda Yusuf, jabatan presiden itu artinya jabatan totalitas, 7 hari sepekan selama 24 jam per hari. Lha kalo menjadi presiden saja masih mikirin partainya, yang ada justru terkesan menjadi Presiden Part-time. Karena dalam pandangan bodoh orang-orang, kalau dia masih mengurus partainya meskipun sebentar saja terekpos, pasti sebenarnya seluruh harinya habis buat mikir partainya. Bukankah beliau itu berasal dari partai, jadi wajar dong anggapan bodoh itu dibenarkan.

Selain itu, kejadian ini menjadi serangan balik dari perkataan beliau sendiri agar menteri berkonsentrasi pada tugasnya bukan partainya. Lah ini malah menjilat ludahnya sendiri. Padahal pemimpin itu dipegang perkataannya. Sekali bertitah maka wajib dipegang, atau diluruskan jika benar-benar salah. Nah, nasihat beliau kepada para menteri kan memang nasihat yang sudah jelas-jelas benar, makanya harus dipegang. Tapi kenyataannya, bisa kita simpulkan sendiri.

Apa pun itu, yang jelas publik kecewa memiliki Presiden yang terkesan kerja part-time. Bagaimana pun kami berharap beliau mau kembali focus untuk mengurusi negara yang semakin tidak jelas ini. Sesulit apa pun itu. Dengan media informasi yang semakin maju seperti saat ini rakyat semakin cerdas untuk menilai, meskipun sesekali mereka bisa mengumpat sesukanya, menyatakan kekecewaanya atau berbagai kicauan hingga kelakar-kelakar nyelenehnya sebagai ekspresi ke-stress-an yang tak kunjung bertemu solusinya.

Pak SBY, Anda adalah presiden RI. Bukan lagi wakil partai Demokrat, jadi mohon bekerjalah penuh untuk negeri ini, bukan part-time. Sebagai kaum intelektual, kami tahu betapa beratnya beban Anda, maka jangan dibebani lagi dengan urusan partai. Biarlah ia diurusi oleh orang-orang yang sekarang mendapat amanah mengurusnya. Tirulah sikap Habibie, yang selalu elegan memberi kritik, tidak dibeber-beberkan ke publik. Tak hobi berkoar kecuali diminta untuk memberi nasihat. Dan selalu visioner untuk memotivasi generasi muda, khususnya kaum intelektual negeri ini.

Akhirnya, mari kita panggil Pak SBY dengan agar beliau teringat dengan kita, “Pak, Anda presiden kami di NKRI, bukan Presiden part-time. Kami merindukan kiprah nyata Anda“.

7 Comments

    1. ardika

      Iya mbak, itu pernah dirilis di Jakarta post. Ha ha, Indonesia itu penuh dengan keanehan. Sampai-sampai sulit dipercaya mana yang bisa dijadikan referensi, apakah media televisi, koran, berita onlinenya, atau memang kenyataan politiknya. Yang bener-bener ga ada rekayasa pemberitaannya cuma sepak bola mbak. ha ha

    2. ardika

      yang jelas ya mbak, siapa coba yang berani ngusik terang-terangan apa yang dilakukan keluarga presiden, wong semua kendali negara di bawahnya termasuk KPK

    1. ardika

      mari kita menyalakan lilin kawan. biarlah ia menjadi kegelapan. ketika lilin kita semakin terang, maka negeri ini nantinya akan lebih baik. terus berkarya dan menjadi solusi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.