Apa yang pertama kali terbersit dibenakmu kawan ketika mendengar nama Afghanistan? Perang, bom bunuh diri, jihad, Taliban dan sebagainya. Itu berlaku umum dari berita-berita yang sudah biasa baik dalam bentuk tulisan, gambar maupun video yang diikuti informasi dari mulut para penyiarnya. Itulah negeri yang tidak pernah berhenti untuk berkabar tentang perang sejak ribuan tahun lalu. Hingga kini, negeri itu tetap seram dalam telinga dan bayangan kepala kita.
Namun, aku harus bilang wow setelah selesai menamatkan bukunya mas Agustinus Wibowo, backpaker yang mungkin lebih tepatnya sudah mencapai derajat explorer dari Indonesia yang telah memilih jalan hidupnya di masa mudanya kemarin untuk bertualan selama hampir sepuluh tahun dari China, Rusia, hingga ke Asia Selatan dan Asia Tengah. Dan kali ini aku menamatkan satu bukunya yang khusus berkisah tentang petualangannya di Afghanistan, negeri perang yang menjadi persinggahannya paling lama dari sepuluh tahun petualangannya itu.
Kenyataan bahwa negeri itu menjadi negeri terbelakang karena perang yang tidak pernah henti maka aku harus bilang iya, karena beliau pun tak mengelak bahwa itu adalah makanan sehari-hari bagi mereka. Bahkan sampai mereka bilang semua di Afghanistan itu mahal, kecuali nyawa manusia. Dan kenyataannya, miliaran dolar bantuan masyarakat Internasional, tak sampai 20 persennya dinikmati rakyat Afghanistan karena selebihnya habis dalam sebuah skema korupsi yang kompleks mulai dari menggaji tinggi para relawan hingga biaya rumah, keamanan dan pengawalan yang ketat bagi mereka. Aku cukup percaya dengan laporan itu, karena itu tulisan seorang petualang yang juga fotografer dan jurnalis.
Membaca buku setebal 500-an halaman itu membawa banyak refleksi tentang arti rasa syukur. Mari bersyukur ketika kita hidup di sebuah negeri yang merupakan hasil konsensus ratusan suku bangsa dengan bahasa mereka masing-masing untuk berikrar menjadi satu bangsa dengan nama bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan bahasa yang satu, Indonesia. Ini anugerah yang sangat luar biasa jika harus dibandingkan dengan Afghanistan yang hanya terdiri dari beberapa etnik dan bahasa berbeda namun terus bergolak.
Di masa lalu, puluhan dinasti saling menumbangkan negeri yang dibatasi Sungai Amu Darya itu. Hingga masa kerajaan ketika Uni Soviet mulai melebarkan pengaruhnya, pergolakan melawan Komunisme bergejolak. Ketika Rusia menyerang, maka semua etnik bersatu menentang penjajahan, sementara permusuhan di antara mereka diredam dengan melawan tentara merah. Tetapi ketika mereka menang dan merdeka, kembali mereka bertarung satu sama lain. Tak jelas mana yang sesungguhnya sesama bangsa Afghan, mungkin mereka yang saat ini tinggal di Iran sehingga ketika mendapatkan perlakuan dari orang-orang Iran yang mereka pandang angkuh mereka merasa senasib sebagai orang Afghan atau mereka yang di Pakistan, mereka tidak peduli dengan kawasan Pasthunistan yang telah dibatasi garis Durrand. Itulah realita Afghanistan dari explorasi traveler Indonesia yang satu ini.
bersambung ….