Selimut DebuTetapi tahukah kita, bahwa orang-orang Afghanistan adalah kaum-kaum yang sangat ramah dalam memuliakan tamunya. Tak peduli mereka sedang susah ataupun berkecukupan, mereka senantiasa membuat tamu merasa betah, bahkan untuk seorang non-muslim seperti beliau. Mungkin sulit dicerna logika bagaimana Afghanistan yang masih memegang tradisi kuat dalam berpakaian dan bergaul itu ternyata begitu ramah melayani tamu mereka. Meskipun wanitanya menjadi anonim karena tertutup burqa dan hanya dirumah melulu, tetapi mereka selalu sigap menyediakan hidangan untuk tamu yang dibawa suami mereka. Itulah pengakuan seorang Agustinus di negeri yang katanya perang.

Afghanistan memang negeri perang yang telah membuat orang mati rasa takutnya. Ketika ledakan terjadi mereka paling hanya bertanya, ada bom ya? Kapan? Dimana? Berapa yang mati? Asal tidak ada keluarganya yang mati mereka lalu berkata … oh ya sudah. Tetapi di negeri itu menyimpan banyak sejarah dan kearifan yang tidak banyak diketahui orang. Dan di sini pula, sebagai orang yang Sunni tentu aku mengerti mengapa Syiah begitu kuat mengakar di negeri-negeri Asia tengah.

Sekte yang dirintis Ibnu Saba’ di masa kekhalifahan Utsman bin Affan itu kini telah menjelma menjadi sebuah sistem rivalitas untuk umat Islam yang terlalu kompleks. Kita tak bisa lagi berkata sederhana untuk memberangus pengikut Syiah dari muka bumi dengan perang dan pembunuhan, karena ini bukan semata-mata kesesatan aliran, melainkan tradisi yang mengakar karena didukung oleh kebodohan dan kemiskinan yang menyayat.

Dan itu pulalah yang menjadi potensi berkembangnya Syiah dan segala aliran sesat di Indonesia. Karena umat Islam di Indonesia tidak banyak belajar tentang asas agamanya, sementara mereka harus bekerja dan menghidupi keluarga. Di tempat yang lain, orang-orang yang katanya belajar agama, paham kitab dan sampai disebut ustadz masih banyak yang ribut untuk saling menyerang dan merendahkan satu sama lain. Mengoreksi penting, tetapi lihatlah jutaan umat Islam di Indonesia yang menjadi malas dan tidak tahu agamanya padahal mereka ber-KTP Islam.

Akhirnya, aku harus memberi jempol untuk buku ini, karena sangat komprehensif dan informatif untuk memberikan khazanah pemahaman yang baru dan adil tentang sebuah peradaban yang berbeda dimensi. Dari pada membaca berita media yang kadang-kadang tendensius, baik ke kanan atau ke kiri, lebih baik kita membaca kisah-kisah para pelaku perjalanan. Aku yakin tulisan beliau cukup adil mengingat beliau sejak awal bahkan proporsional ketika meletakkan sikapnya melihat patung Buddha di Bamiyan yang merupakan bagian dari keyakinannya dihancurkan Taliban dengan dinamit. Tapi itu tak membuatnya tendensius untuk lantas membuat tulisan yang mainstream. Beliau tetap saja bercerita dan berkisah tentang petualangan panjangnya, itu saja.

Akhirnya ini hanya sekedar refleksi dan hal yang paling membuatku tersentuh dari pembacaan pertama buku ini. Suatu saat akan kuulangi lagi jika aku membutuhkan rentetan kisah yang menarik itu. Jika Anda tertarik, silahkan menyisihkan sedikit uang jajan Anda untuk membeli bukunya, karena ada banyak kejutan yang tidak terbayangkan. Begitulah kisah seorang petualang.

Sebelum ini aku telah meresensi bukunya yang berjudul Titik Nol.

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.