Seringkali kita mendengar
“Dia itu ga lulus2 kuliah karena terlalu aktif di organisasi”
atau
“Ga heran deh IP-nya 4, …., wong tiap hari belajar melulu, baca buku, ngerjain tugas, ga nyentuh yang namanya organisasi”
Ungkapan di atas mungkin sering kita dengar, bahkan menjadi salah satu bahan pembicaraan kita ketika memberi komentar atas teman-teman kita.
Dalam catatan ini, saya ga bermaksud untuk menjustifikasi sesuatu, sekedar berbagi kisah dan inspirasi yang saya dapat dalam sebuah diskusi bersama seorang dosen psikologi UMM. Beliau berkata: “Jadi mahasiswa yang lulus dengan IP Cumlaude tapi ga pernah ikut berorganisasi itu bagus, tapi tidak hebat. Jadi presiden BEM tapi kuliahnya tidak maksimal itu juga bagus, tapi tidak hebat. Tetapi jadi mahasiswa aktivis yang organisasinya mantap n IP-nya selalu di atas 3 dengan segudang prestasi, itu baru mahasiswa yang hebat, bahkan luar biasa.” Jadi, sebaiknya kita menjadi mahasiswa yang seperti apa. Mungkin ini bisa menjadi pengingat bagi kita bersama, khususnya teman-temanku yang sangat aktivis.
Kemudian kita lanjutkan dengan bahasan organisasi.
Suatu saat saya pernah menjadi tempat curhat:
X : “Mas, saya capek ikut organisasi ini”
I : ” kenapa dek?”
X : “Saya ga menemukan apa yang selama ini saya cari di sini. Penginnya begini, tapi sampe sekarang saya cuma dapat capeknya doang”
I : “Ya, sabar ya. Coba kita lihat sisi lain dari organisasi yang kita jalani selama ini. Jangan sampai sia-sia amal kita selama ini karena kekecewaan yang memang sering muncul di benak kita karena banyknya hal-hal yang tidak sesuai dengan keinginan kita.”
X : “tapi mas, nggak tahulah, mungki besok ga akan ikut lagi ……..”
Jika adik-adik kita berbicara sperti di atas, apa yang kalian rasakan sebagai kabid, ketum atau apa pun dalam jabatan tertinggi organisasi. Tentu seperti sambaran petir yang menggelegar menyapa ruang hati kita. Sebuah ketakutan yang membayang bagi masa depan organisasi yang pada merekalah kelak akan dilimpahkan. Program kerja yang banyak, melelahkan, menyita waktu (pastilah), menyita pikiran (sebagian), mengorbankan harta (jelas), semuanya menjadi ujian sekaligus mekanisme seleksi bagi aktivis di kampus untuk menguji siapa yang benar2 tangguh dan siapa yang lemah sehingga akan berguguran.
Hal ini kemudian sering dimaknai di satu sisi saja. Ada yang berkata “memang tidak semua orang akan sanggup mengikuti semua jalur ini Bro, jdi tenang aj. Yang penting kamu bertahan aj.” Jika ini dipahami sepenuhnya tanpa ada kepedulian terhadap teman-teman kita yang berguguran justru akan menjadi masalah dan bisa jadi ini menjadi penyebab kita dianggap eksklusif.
Ada sebuah perspektif dalam berorganisasi yang saya kira ini mencerahkan, yaitu berorganisasi adalah cara untuk berbagi impian bersama. Dan ini sebenarnya udah secara alami tergambar di wajah-wajah mahasiswa baru, mereka bergabung di suatu organisasi karena memiliki mimpi dan berharap dapat mewujudkan mimpinya di sana. Namun, setelah masuk dalam sebuah organisasi, sebuah doktrin lebih dominan menjejali pikiran mereka. Dengan alasan-alasan yang terkadang memaksa, mereka kemudian harus “bekerja keras”, padahal diĀ kepala mereka masih terangan mimpi-mimpi mereka, hanya karena takut dan “pekewuh” dalam adat yang ada mereka kemudian seperti manusia karbitan yang tiba-tiba menjadi tenaga atas proyek besar yang belum mereka pahami.
Hasilnya, setengah periode, jumlah penderita MUNTABER (mundur tanpa berita) mulai bertambah, di akhirnya lebih parah lagi, tidak hanya muntaber, tapi sampei MUTER (mundur terang-terangan). Menyedihkan, menyakitkan, dan terkandang membuat kita sendiri ikut kecewa juga. Inikah sistem kaderisasi yang baik? Mungkin penulis catatan ini pun juga masih menjadi salah satu dari pelaku yang menyebabkan fenomena ini terjadi. Pemikiran kita yang terlampau tinggi ternyata tidak selamanya bagus untuk langsung disodorkan kepada kanan-kiri kita, apa lagi dipaksakan karena sahabat-sahabat kita pun punya impian yang tinggi pula. Maka seharusnya kita mulai membangun organisasi dari mimpi-mimpi para anggota yang ada di dalamnya. Mengumpulkan aspirasi dari semua anggota organsiasi sangat penting. Memperbaiki cara berkomunikasi sangat penting dalam mendukung terealisasinya organisasi sebagai TEMPAT BERBAGI IMPIAN BERSAMA.
Ketika organisasi sudah dipahami sebagai tempat berbagi impian bersama maka arah kerja organisasi tersebut jelas, yaitu mewujudkan mimpi-mimpi, bukan menganalisis masalah berkepanjangan dengan seabreg argumentasi dan solusi yang tidak solutif. Selama ini mungkin kita memiliki mindset bahwa organisasi ada untuk mengidentifikasi masalah, baik masalah internal maupun masalah eksternal kemudian menyelesaikan masalah tersebut. Jadi aktivitas organisasi adalah aktivitas penyelesaian masalah dan masalah. Ini sangat melelahkan. Akan berbeda jika aktivitas organisasi adalah kerja untuk meraih impian. Akan sangat berbeda
Jika ini sudah dilakukan insya Allah sekeras apa pun, secapek apapun, serumit apa pun program kerja kita, semuanya akan selalu dihadapi dengan senyuman. Senyuman tulus dari semua, bukan senyum kecut dari staff kepada kabidnya.
Tulisan ini jauh dari sempurna. Penulis mungkin tidak mampu mengungkapkan dengan bahasan yang baik. Semoga bermanfaat. Sanggahan, kritik, dan saran ditunggu demi perbaikan tulisan ini.
(Repost from my FB Notes)