Bukit Bintang yang Indah

Pagi itu, suasananya cerah. Meski sempat gerimis semalam ternyata tidak mengurangi cerahnya pagi ini. Yang pasti, dingin dong. Tapi dibandingkan dinginnya Wuppertal, dinginnya sini masih lebih enak karena seragamku yang mirip kepanduan itu masih tetap melekat tanpa harus ditambah jaket. Pagi ini kami akan rihlah ke bukit yang sering dipakai untuk paralayang. Kawasan yang kanan kirinya terdapat banyak lading sayuran dengan pemandangan lebatnya hutan Gunung Lawu di atasnya.

Setelah peserta disiapkan di lapangan seperti biasa, mereka digiring secara berkelompok menuju tempat itu. Meski pagi ini tidak dikasih tugas macam-macam, namun tetap saja naluri kami untuk membuat mereka melewati jalan terjal adalah hal yang terus muncul. Dan memang mereka harus melewati jalan yang naik dan penuh liku. Inilah outbond sesungguhnya, yang tidak sekedar formalitas tetapi sungguh-sungguh menguji mentalitas dan kualitas kepribadian mereka.

Setelah sampai di kawasan yang indah itu, aku sempatkan untuk berfoto dulu sebelum aku menjadi tukang foto untuk setiap atraksi yang terjadi. Aku suka dengan outbond yang diadakan oleh komunitas yang kuikuti ini. Mengapa? Karena dalam outbond ini mau guru atau siswa semua berbaur dan bergabung menjadi tim untuk saling mengalahkan satu sama lain. Para ustadz dan ustadzah harus menjadi teman setia para siswa yang sebagian mereka adalah murid-muridku di kelas sains tiap selasa. Ha ha. Intinya, kebersamaan ini sangat indah. Dibalut dalam indahnya pemandangan lereng lawu yang indah. Inilah Wuppertalku versi Indonesia. Aku tahu Wuppertal sangat indah, bahkan ketika musim dingin sekalipun, tetapi ini pasti lebih indah dan memesona. I love my country.

Tak cukup sampai di situ, ternyata untuk perjalanan pulang pun hal yang sama terus kami lakukan. Melewatkan mereka pada medan yang menantang. Tak peduli itu anak putra atau putri. Di sini aku menemukan hal yang mengagumkan, bahwa muslimah itu tak bermasalah meskipun melewati medan yang terjal. Yah sama sekali bukan masalah. Tinggal kemauannya saja dan keberaniannya saja. Tanpa perlu banyak protes.

The Real Fighter

Usai sarapan pagi, inilah perjuangan sesungguhnya yang akan mereka rasakan. Sebuah petualangan yang akan membuat mereka terkenang. Sebuah perjalanan yang akan menunjukkan keaslian sifat mereka saat ini. Siapa yang pejuang sejati, siapa yang hobi menjadi pengeluh saja, apalagi yang pengumpat. Semua akan terlihat jelas dalam perjalanan ini. Perjalanan menuju tempat yang juga akan menguji kelapangan hati siapa pun yang ke sana. Pasti!

Dimulai dengan semua mata ditutup hingga mereka berjalan mendaki, terseok, terjatuh karena jalanan yang licin, semua kami biarkan. Mereka terus merangsek maju, sambil sesekali terdengar teriakan jatuh, tapi ada juga yang terus bertakbir dan menyebut nama-nama Allah yang indah, meskipun terkadang terdengar juga di telinga sesekali umpatan dan berbagai sumpah serapah tak menyenangkan. Beginilah anak-anak, tetapi aku salut bahwa sebagian besar mereka adalah pejuang. Inilah yang dinantikan bangsa ini, para pejuang dan pembelajar sejati.

Kemanakah tujuan petualangan yang rumit lagi mengerikan ini. Ke sebuah goa yang juga sebenarnya jika dilihat dari sisi keindahannya tidak ada yang menarik. Hanya di sini akan terbukti siapa yang sejak awal memiliki kelapangan hati untuk siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ketika mata mereka terbuka mereka harus menyusuri jalan-jalan yang seolah mereka mustahil untuk melewati, tetapi tidak ada pilihan jika mereka tak melewati mereka tidak akan bisa pulang karena mereka tidak mengetahui awal mereka berangkat. Demikianlah petualangan itu, menantang, menguji dan mendewasakan.

Aku salut, karena di sinilah aku melihat “the real fighter“ bermunculan dan terus bertahan dalam himpitan. Namun demikian ada segelintir pengumpat dengan segala sumpah serapahnya yang sudah pasti membuat perjalanan mereka hari ini sia-sia. Capeknya udah jelas, tetapi makna diri mereka hilang dan mereka tidak mendapatkna inspirasi apa-apa. Aku salut ada salah satu ustadz yang mengambil tantangan untuk menutup mata selama perjalanan pulang dan ingin merasakan bagaimana menjadi seorang yang buta. Hasilnya, beliau sukses mencapai tempat pulang dengan sedikit arahan dari Pak Yepe. Ternyata menakjubkan sekali saudara-saudara kita yang penglihatan matanya diambil Allah, mereka ternyata memiliki kepekaan yang luar biasa. Benarlah seperti kata salah seorang tunanetra, Allah itu maha bertanggung jawab untuk mengurus hamba-Nya.

Last Moment

Usai bermandi ria di air terjun setelah petualangan yang seru tadi. Kini tibalah waktu permainan terakhir yang juga tidak kalah seru. Meski permainan ini dasarnya seperti permainan biasa, tapi bukan kami kalo tidak membuat modifikasi baru yang membuat tantangan berlipat ganda. Intinya kombinasi permainan bakiak dan pengambilan karet dalam tepung yang diberi rintangan zig zag dan lompat pasti sangat mengasyikkan sekaligus sedikit ”mengerikan“ untuk menutup rangkaian permainan outbond kali ini.

Dan pada saat penjangkaran ternyata semua peristiwa itu menjadi sebuah kenangan yang membuat kami banyak yang menangis. Meskipun murid-murid yang putra banyak yang senyum-senyum, namun banyak juga mereka yang bisa terharu dan menangis. Padahal ini training yang pembicaranya sama sekali tidak membuat renungan untuk menangis. Yah, kami menangis dalam haru dan kebersamaan, bukan kesedihan apalagi membayangkan orang tua atau saudara mati. Kami menangis untuk membangun impian kami di masa depan.

Dan inilah moment terakhir yang indah itu. Kami mengabadikan foto-foto kami. Gambaran kebersamaan yang luar biasa dan membangkitkan semangat berkarya untuk seterusnya. Terima kasih keluarga PINTU. Terima kasih Pak Indrawan atas inspirasinya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.