Pemilu 2014 segera tiba. Pesta Demokrasi 5 tahunan masyarakat Indonesia itu segera menggema lagi. Saat ini antar partai sudah mulai saling mem-bully satu sama lain melalui medianya. Rakyat-rakyat yang masih bodoh dan tidak paham politik jadi anak panah yang digunakan sebagai obyek adu domba. Pengusaha serakah dibalik kepentingan besar ini hanya senyum-senyum melihat parade adu domba yang begitu tidak bermutu ini. Dan kami para blogger senyum-senyum nyengir, karena kami prihatin dengan realita ini, meski tidak dapat dipungkiri bahwa aktivitas online kami terbantu dengan berbagai tema yang dinamis ini.
Berbagai pendapat hingga perdebatan mulai muncul. Masing-masing mengeluarkan ide-idenya, termasuk membawa produk-produk asing (pendapat, teori, fatwa) apa pun untuk diulek di kolam perdebatan yang mengatasnamakan kebebasan berpendapat. Namanya kolam ya isinya ada ikan, aktivitas orang berenang, mancing, hingga ciprat-cipratan air. Semua menikmati permainan ini, yang terciprat ingin membalas. Yang kebasahan misuh-misuhi yang lain. Ada yang dapat ikannya. Ada yang motret dan mengabadikan momen-momen unik itu. Dan lagi-lagi kami para blogger, adalah golongan yang memilih mengabadikan hal itu. Mengapa? Dari pada kami merasa tidak waras menjadi bagian dari penghuni kolam.
Aku mencoba merenungi realita yang memang pasti akan terjadi setiap 5 tahun ini. Ada kesenjangan antara cita-cita dan realita. Reformasi adalah titik yang harus diakui sebagai masa kebebasan sesungguhnya bangsa ini sekaligus fase paling bahaya untuk eksistensi NKRI. Hanya di negeri kebebasan berpendapat begitu mengerikan sehingga setiap orang bisa nyonthong untuk mempengaruhi yang lain hingga ke derajat memaksakan pendapat. Aroma kekerasan baik dari status facebook, lidah yang tajam hingga liur yang nyemprot, sampai kekerasan fisik sebenarnya bukan hal yang tabu lagi.
Apakah kita hanya akan mengumpat? Menyalahkan sistem demokrasi sebagai sistem kafir? Atau berbenah pada pos-pos dan zona yang mampu dijangkau. Lagi-lagi pasti ada dua sisi demikian. Ada sekelompok orang yang menyumpah serapahi demokrasi. Ada yang menganjurkan golput. Ada yang menganjurkan macam-macam yang intinya bukan solusi konkrit untuk membawa bangsa ini menang dalam demokrasi atau sekalian keluar dari fase demokrasi ala Barat dan tidak kembali lagi ke fase junta militer yang pernah terjadi. Aku merasa diam dan bekerja hari ini adalah tindakan nyata menjadi saksi demokrasi Indonesia. Apakah Anda sebagai politisi, sebagai birokrat dan PNS, sebagai penegak hukum, sebagai masyarakat biasa, sebagai pelajar dan mahasiswa, mari tetap bekerja dan berikan partisipasi semestinya atas ketentuan negara ini. Mari hindari mengeluarkan pernyataan yang lebih memperburuk situasi. Terutama saudara sesama muslim, ini bukan saatnya lagi untuk cekcok dan mencari status siapa yang paling benar, tetapi mari kita lakukan cara-cara yang mungkin agar eksistensi umat Islam Indonesia kembali dan aspirasi mereka terwadahi.
Percayalah, saat nilai-nilai Islam diterjemahkan di kehidupan berbangsa dan bernegara maka kekuatan asing seperti kapitalisme, sosialisme dan dekadensi moral akan dapat diatasi. Tetapi apakah kita yang muslim yakin dengan hal itu? Jika Anda ragu-ragu, sebaiknya perbaiki dulu mindset ini sebelum kita menjadi kafir secara maknawi karena terlalu liberal dalam beragama. Atau bisa jadi kita mengalami kepicikan sehingga keinginan kita mewujudkan nilai-nilai Islam di bumi nusantara ini justru berujung pada tindakan-tindakan anarkis, sektarian, dan ekstrim.