Dewan Effect

Ceritanya beberapa waktu lalu kita pernah mendengar Jokowi Effect, apa itu? Googling aja yah. Nah ceritanya di sini aku memunculkan istilah baru Dewan Effect, yakni yang berkaitan dengan kebiasaan anggota dewan dalam sorotan publik dan dampak yang ditimbulkannya. Jujur saja, sebaik apa pun kerja anggota dewan saat ini (karena aku yakin tidak semua orang di dewan itu para koruptor, yang baik-baik juga sangat banyak kok), tapi opini media telah menyempurnakan asumsi kebanyakan orang bahwa mereka itu tukang bagi-bagi uang dan koruptor. Bahkan yang nulis ini pun sering geram kalo sekilas baca berita yang berkutat seputar partai dan anggota dewan, meskipun nantinya juga sadar lagi.

Nah dewan effect ini menurutku salah satu pemicu penyakit megalomania karena merangsang para pemimpin muda hari ini untuk tetap terobsesi pada kekuasaan karena dalam asumsi sederhananya setelah berkuasa nanti maka hal yang buruk-buruk ini dapat segera diubah. Siapa bilang? Jika kualitas generasi yang ada sekarang sejak kecil saja sudah terserang megalomania, apalagi nanti ketika ordonya makin tinggi, ih makin ngeri pastinya. Dan ujung-ujungnya orang-orang yang bertipe ini akan memproduksi generasi-generasi pengikut yang pola pikirnya birokratis dan “asal bapak senang”. Adem ayem, seakan tidak ada musuh, padahal kelemahan generasi sesudah kita itu adalah musuh yang paling berbahaya dari pada rival yang saat ini terus menyerang kita.

Apa solusinya, masih tetap sama mari tunjuk hidung lagi. Dan bertanya. Apakah aku pemimpin? Untuk apa aku memimpin? Untuk siapa aku memimpin? Dengan apa aku memimpin? Bagaimana aku memimpin? Jawab saja dengan refleksi hidup kita, diiringi istighfar dan perbaikan terus menerus. Kita (khususnya aku) berkali-kali diminta memimpin secara formal, berarti harus banyak istighfar dan taubatnya. Siapa bilang enak jadi pemimpin banyak orang? Kepala lu peyang apa mau ngatur-ngatur dan ngendalikan banyak orang apalagi melakukan rekayasa sosial. Wong mikir mempertanggungjawabkan diri sendiri di akhirat nanti aja ketar-ketir gini. Tapi jika memang dipercaya jadi pemimpin, tidak boleh ada istilah memimpin “sebisanya, sedapatnya, seenaknya” karena ujian kepemimpinan itu adalah tantangan bagi kita untuk mempersembahkan layanan terbaik bagi orang-orang yang kita pimpin. Bukan memberikan sesuatu kepada mereka yang menurut kita baik, tetapi memenuhi apa-apa yang sesungguhnya menjadi keinginan hati mereka.

Maaf jika tulisan ini kacau untuk dipahami dan malah membuat pembaca semakin tidak jelas, penulisnya masih harus belajar untuk menata diri dan merapikan kata-katanya sendiri. Terima kasih telah bersedia membaca seri gagasan ini.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.