Pola Pikir Birokratis

Akibat adanya dominasi kekuasaan yang dialami oleh sebagian orang yang mengalami megalomania ini, maka beberapa golongan rakyat bawah (yang diasumsikan tidak memiliki pola pikir yang sampai) tidak bisa memberikan masukan briliannya sampai ke atas, karena saking sulitnya menembus pintu ke ordo tertinggi (selain juga karena tidak tahu). Hal ini sangat berbeda sekali dengan konteks pemerintahan kaum muslimin yang para khalifahnya kebanyakan dekat dengan rakyat karena selalu memiliki waktu untuk berbagi dan bersama dengan mereka, selalu dikawal oleh para ulama yang juga dengan rakyatnya (bukan golongannya).

Dalam konteks organisasi yang kecil di tataran mahasiswa, maka ini terlihat sekali ketika ada staff yang nakal mereka buru-buru disingkirkan, dan segala program ataupun hal yang dikerjakan harus PH-signed. Setiap hal yang sebenarnya teknis dan butuh improvisasi harus selalu ditinjau di meja sidang hingga akhirnya aksi nyata dan proses naturalisasi jiwa-jiwa pemimpin tidak tumbuh-tumbuh. Yang ada adalah generasi yang ketakutan dan semakin terbebani karena organisasi yang makin berprestasi dan dia harus melanjutkannya nanti, atau generasi sakit hati karena disingkirkan secara sepihak karena tidak ada akad yang jelas antara keduanya (waktu nerimanya hanya pertimbangan perasaan tanpa indikator yang jelas, sehingga ketika dirasakan tidak sesuai maka dikeluarkan dengan tidak jelas juga).

Selalu begitu sehingga orang-orang yang mencetak prestasi dan telah bekerja keras tak kunjung diapresiasi, hanya karena orang-orang yang lebih senior dan lebih dekat darinya belum dapat jatahnya. Dan ujung-ujungnya, berbagai kong kalikong yang tidak didasari atas asa profesionalitas kerap terjadi di belakang layar atas nama pembenaran yang dilegalisasi oleh sebuah standar mutu yang membuat siapa pun bungkam ketika senjata itu diluncurkan.

Ketakutan berinovasi dan mengungkapkan gagasan cemerlangnya orang yang berada di bawah ordo kita adalah masa depan buruk untuk kelangsungan generasi penerus kita. Mengapa? Karena kita tidak pernah bisa mengukur realita kemampuan dan kompetensi mereka di banyak waktu kita, sehingga akhirnya kita pun sulit memetakan kemampuan mereka nantinya, dan yang paling menyakitkan adalah ketika mereka kita pandang sebagai anak-anak yang patuh pada kita saat kita memimpin, namun setelah itu semuanya berakhir bersamaan dengan berakhirnya kita.

Memang tak semua pemimpin itu berani untuk menanggung ulah anak-anaknya yang nakal dan terkadang over acting, karena bagaimana pun seorang bapak harus jadi pengendali buat anak-anaknya. Tetapi menjadi pengendali dan pengekang itu beda tipis. Memang tak semua pemimpin itu siap ketika anak buahnya ternyata lebih berjiwa pemimpin, lebih intelek dan lebih mampu cerdik dalam menangani situasi. Memang tak semua pemimpin itu jantan ketika bertemu dengan anak buahnya yang kelewat lancangnya hingga kadang berani “nggagahi” dirinya dan membuat kekacauan di dalam.

bersambung …

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.