Masjid di Indonesia hari ini ibarat jamur bertebaran. Di mana-mana mudah sekali dijumpai masjid. Simbolnya kelihatan dari kubah dan suara azan yang sering terdengar (minimal maghrib – isya’). Sangat berbeda ketika aku pernah tinggal sebulan di Jerman, di mana masjid masih jarang dijumpai dan kalau pun ada itu pun perlu klarifikasi isi dalamnya. Karena masjid di sana ya seperti rumah biasa, tidak ada tanda kubahnya dan azannya pun hanya terdengar di dalam ruangan saja.
Yang membedakan keduanya adalah masjid di Jerman penuh sesak, bahkan ketika shalat Jumat sampai shalatnya saling bersinggungan kepala dengan pantat. Berjubel banyaknya kaum muda di sana, baik yang berwajah Turki, Maroko, China, bahkan warga asli Eropa yang berkulit putih (tentunya kebanyakan adalah warga negara Jerman). Sedangkan kebanyakan masjid di Indonesia hari ini sepi (khususnya di lingkungan pedesaan), terkadang angker, bahkan di waktu maghrib dan isya’ pun ketika ramai formasinya berisi orang-orang tua yang tinggal menunggu panggilan sang Pencipta. Ironi, namun inilah realita yang sedang terjadi di negeri yang berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia.
Judul masjid “orang tua” ini terinspirasi dari merk dagang cap OT (orang tua) yang katanya dipercaya sejak tahun 1948. Tidak usah tertawa, ceritanya aku sekarang sering sekali berinteraksi dengan teman-teman blogger di suatu kawasan di Solo. Di markas itu aku ikut bergabung online di daerah yang kenceng banget sinyalnya. Namun memang inilah ibrah bergabung dengan teman-teman di komunitas blogger. Mereka adalah komunitas independent yang mengedepankan toleransi tinggi di mana urusan pribadi benar-benar urusan pribadi tanpa boleh dicampuri orang lain, termasuk di sini adalah masalah ibadah. Yang butuh ya lakukan sendiri tanpa harus cerewet mengatur orang lain.
Nah ketika tibanya waktu shalat, ada yang segera wudhu shalat di kamarnya, ada yang juga tetap melenggang dengan pekerjaannya, dan segelintir dari kami, terkadang aku sendiri yang memutuskan untuk pergi sejenak ke masjid yang cukup dekat dari situ. Yang masih ku syukuri, setiap kali azan berkumandang maka aktivitas musik dan berbagai bunyi-bunyian segera mereka hentikan untuk membiarkan kalimat Allah itu terlantun.
Masjid itu cukup luas, banyak orang yang shalat (lumayanlah yang datang untuk setiap waktu shalatnya, bahkan waktu subuh pun masih bisa sampai 1 shaf). Sayangnya adalah hampir tidak ada anak-anak usia muda sepantaranku atau yang lebih kecil turut shalat berjamaah di situ selain aku dan takmir muda yang menjadi penjaga masjid itu. Di sebelah masjid ada angkringan yang banyak dipakai nongkrong anak-anak sekolah yang membolos (yakin deh membolos soalnya Senin-Kamis sering sekali ada anak usia SMA yang nongkrong di sana sebelum dzuhur). Inilah realita masjid yang ada di markas online ku sekarang.
Aku yakin, hari ini masjid-masjid yang masih banyak dikunjungi anak-anak muda adalah masjid yang bercokol di kawasan pinggirang kampus, termasuk masjid kampusnya atau masjid-masjid yang masih berada di lingkaran kawasan pesantren. Ada pun masjid di pedesaan, apalagi masjid di pelosok-pelosok daerah seperti daerahku Gunungkidul yang katanya abangan kini tinggal dimakmurkan oleh orang-orang tua yang sedang menunggu dijemput ajalnya. Wajarlah orang tua, udah tua masih tidak mau sujud ya keterlaluan pasti. Tapi itu juga ternyata ada loh (pengalaman pribadi) bagaimana menjumpai masjid yang jamaahnya borongan. Yang jadi muadzin, imam, makmum sekaligus oleh satu orang. Trus masalah?
Sahabatku para aktivis, inilah realita masyarakat kita hari ini. Di tengah pembicaraan dakwah yang gegap gempita untuk melakukan perburuan kedudukan dan harta yang kerap diasumsikan sebagai indikator kemenangan dakwah bagi mereka-mereka yang terobsesi, kita harus mengelus dada melihat masyarakat yang hari ini semakin jauh dari agamanya. Ini bukan hal yang sederhana ketika di kampus kita berapi-api membicarakan berbagai upaya perubahan di masyarakat, menyusun skema kegiatan dakwah dan organisasi, namun di luar sana masyarakat Islam justru tidak Islami lagi. Ini adalah bias ketika banyak aktivis dakwah memilih berhenti dari peran membimbing umat dan terlalu terobsesi dengan berbagai kekuasaan.
Hari ini aku harus mengakui bahwa aku bersalah telah meninggalkan sementara adik-adik di desa. Dulu pernah hidup kegiatan itu, dan kami bisa sering pulang untuk menyukseskan kegiatan itu. Namun kerasnya adat di masyarakat disamping tuntutan harga diri dalam pekerjaan membuat ksatria-ksatria muda yang baru lulus SMA itu harus memilih ke kota sebelum dihakimi dengan perkataan menyakitkan oleh masyarakat. Mau kuliah mereka tidak mampu seperti karena ekonominya tak semapan ayahku atau sedikit dari kami. Alhasil, rintisan yang telah berjalan cukup lama itu akhirnya game over. Dan aku memilih pergi untuk sementara. Bagaimana dengan desa kalian?
Hari ini aku terus berupaya membangun sebuah basis bisnis yang memungkinkan aku kembali ke desa lagi dan menikmati banyak waktu untuk berbagi dan berkeliling di desa. Menyapa generasi muda untuk kembali bertemu di masjid-masjid yang kini menjadi masjid cap orang tua. Ada banyak kemungkinan untuk mengembalikan itu, tapi semua harus dicoba sampai Allah kelak berkenan menjadikan harapan ini terwujud.
Mengapa dakwah di masyarakat sangat penting? Aku menghargai mereka-mereka yang hari ini sedang berlomba-lomba menduduki kursi parlemen. Aku menghargai sahabat-sahabat yang menganggap bahwa kemenangan dakwah itu dilihat dari kepemimpinan yang tercapai. Tapi kita tidak seharusnya lupa bahwa kekacauan negara ini tidak semata-mata karena pemimpin yang korup dan jahat, tetapi juga karena perilaku rakyatnya yang semakin tidak karuan dan tidak mau ditata.
Negeri ini adalah negeri mayoritas muslim, ada banyak kerja dakwah yang juga penting untuk kita bangun di tataran akar rumput. Bukan semata-mata untuk menuai kemenangan dalam kepemimpinan. Tetapi karena memang kita punya peran besar bagi masyarakat. Oleh karena mereka masyarakat muslim, maka ketidakhadiran mereka di masjid-masjid mereka seharusnya membuat hari-hari kita ketakutan karena jangan-jangan kita termasuk orang yang kelak akan dimasukkan ke neraka karena diberi banyak ilmu dan kemampuan tapi tidak menggunakannya dengan maksimal untuk tugas membimbing dan mengajak masyarakat untuk meramaikan rumah Allah seperti di zaman Rasulullah meletakkan pondasi masyarakat yang Islami.
Semoga dapat menjadi renungan kita bersama.
Pingback: Sepucuk Harapan di Lereng Bukit Samber Nyawa | Be Better for Future