Ceritanya ini berawal dari kekagumanku pada tokoh-tokoh bangsa ini yang telah membuktikan perjuangan mereka di masa lalu. Sebut saja mereka, Soekarno, Moh. Hatta, H. Agus Salim, Moh. Natsir, Hamka, Jend. Soedirman, Sutan Sjahrir, Moh. Roem, bahkan Tan Malaka dll. Atau yang lebih awal lagi seperti Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, dll. Mereka adalah cendikia bangsa ini yang sangat mengagumkan. Warisan pemikirannya hari ini kerap kali dikejar oleh para pengagumnya. Bagaimana dengan aktivis kampus hari ini?

Pelbagai tawaran yang menggiurkan dalam dunia pergerakan kampus hari ini luar biasa. Aneka gerakan ditawarkan dari mulai yang sangat kiri hingga yang sangat kanan. Okelah semua punya alasan dan sah-sah saja memburu kader-kadernya di dalam kampus. Karena memang sewajarnya begitu, kampus itu ladang pengkaderan masing-masing pergerakan. Hanya saja, yang sering membuatku tersenyum adalah apakah pengkaderan pergerakan-pergerakan hari ini telah sampai pada pertimbangan mendasar tentang akar sejarah masyarakat Indonesia. Atau jangan-jangan hanya sebuah pelibatan teknis yang sifatnya perjanjian saja (baca : baiat) tanpa penumbuhan alasan bersama mengapa harus bergerak untuk menyelamatkan bangsa ini.

Dahulu, mahasiswa itu adalah kaum yang tertarik untuk membicarakan kepemimpinan. Muaranya adalah tentang sikap kenegarawanan. Hari ini, boro-boro bicara masalah sikap kenegarawanan, membicarakan kepemimpinan saja sudah bersyukurnya minta ampun. Bagaimana realita kepemimpinan itu, jika kita mau jujur, ya kepemimpinan itu pastilah tentang politik. Politik itu adalah ruang pembicaraan nyata tentang bagaimana kepemimpinan bangsa ini diimplementasikan.

Yang terjadi kemudian, kepemimpinan politik itu hari ini dipandang sebagai obsesi gerakan, tanpa sebuah upaya sinergi (karena memang sampai sekarang aku melihat gerakan-gerakan ini belum memiliki visi bersama yang menyatukan). Sehingga ruang belajar di kampus itu tidak lebih sebagai gagah-gagahan untuk saling berebut kekuasaan. Kadang-kadang yang tua-tua bukannya mengarahkan agar proses persaingan itu semakin sehat, tapi malah ikut-ikutan bikin tambah runyam urusannya.

Di kalangan mahasiswa yang ghirah aktivisnya rendah dan sense kepemimpinannya masih rendah, realita di atas membuat mereka semakin malas dan apatis bicara tentang kepemimpinan. Sehingga ujung-ujungnya muncul istilah gerakan anti politik (masak iya negeri ini tidak butuh sistem politik), atau politik itu kotor dan busuk (perasaan kata politik itu netral deh, yang membuat busuk atau baik kan para pelakunya), atau kemudian ada istilah aneh-aneh yang lain yang intinya berujung pada prototipe aktivis apolitis. Jadi aktivis tapi tidak mengakui realita politik.

Yang parah kemudian melahirkan sekulerisme kepemimpinan. Istilah, jangan bawa-bawa agama kalo lagi bicara politik atau sebaliknya kemudian ngetrend dan diamini oleh banyak orang. Celakanya yang banyak terjebak di sini adalah umat Islam sendiri. Ini lebih konyol dan sangat luar biasa lucunya. Terlihat sekali bagaimana pembicaraan sejarah mereka terputus pada pengaguman sejarah yang tidak diikuti dengan spirit perjuangan mewujudkan kepemimpinan yang pernah hilang. Mungkinkah kepemimpinan itu tiba-tiba datang dari langit tanpa ada penyiapan yang nyata dari umat Islam itu sendiri?

Bukankah ketika kekuasaan itu ada, umat Islam bisa merealisasikan banyak kebaikan dan membuktikan bahwa mereka mampu menjaga payung perdamaian dunia. Berabad-abad lamanya kita pernah membuktikan itu. Bahkan di mata umat non-muslim itu, kekuasaan Islam telah membuktikan perlindungannya. Yang membangun opini buruk sebenarnya adalah pemimpin lama yang dikalahkan, itu wajar dan biasa dalam dunia politik di mana untuk memimpin sebuah masyarakat itu sering terjadi pertarungan untuk pengaruh dan kekuasaan.

Realita kepemimpinan di tataran tertinggi memang akan selalu ada badai, bunuh membunuh pun bahkan bisa saja dilakukan. Tapi memahami pentingya kepemimpinan sebagai amanah mulia dan kehormatan melayani umat sebaiknya senantiasa dipegang. Sehingga persaingan dalam berebut kekuasaan itu bukanlah berhenti untuk menyejahterakan kelompok, golongan, atau jamaahnya saja. Tetapi berhasil membangun sinergi bersama untuk memberikan kemaslahatan bagi umat karena itu amanah mulia dan sebuah kehormatan untuk melayani.

Tentu saja bagi saudara-saudara aktivis muslim, hanya ada satu konteks yang sangat mungkin untuk mengurangi perbedaan pandangan yang kian kentara dari hari ini. Kembali pada sejarah kita, di mana saat Rasulullah melakukan pencerahan dengan risalah Islam yang dibawanya dan menebarkan kedamaian di seluruh dunia. Dari situ kita punya PR besar untuk mengembalikan opini dunia, bahwa Islam itu bukan agama perang seperti yang sering dipersepsikan oleh rival-rivalnya, tetapi Islam itu adalah agama keselamatan.

Kita berharap bahwa saudara-saudara muslim kita adalah orang-orang yang mau bertanggung jawab untuk menjaga keyakinan ini dengan teguh. Mengutamakan perdamaian dalam jalinan persahabatan dengan para pemeluk agama yang lainnya dalam bingkai kemuliaan akhlak. Karena dunia yang damai itu lebih menjamin ketenteraman kita untuk berbuat kebaikan. Ada pun dibelahan lain yang tengah bergejolak, terkadang kita harus membuka kembali lembaran sejarah, bahwa Rasulullah pun pernah mengisyaratkan bahwa tidak akan pernah ada perdamaian sejati atas bumi Palestina, sehingga kaum Yahudi penjajah itu pergi.

Umat Islam hari ini mengalami kemunduran, karena lemahnya ruh jihad dan keinginan belajar umat yang sudah tidak lagi sejalan seperti para pendahulunya. Akibatnya pertolongan Allah jauh, dan seperti biasanya, kemenangan akan dipergilirkan untuk umat yang lain sampai Allah melihat ada usaha keras dari kaum muslimin sehingga kelak dimenangkan kembali. Jadi masih inginkah kita menjadi aktivis kampus yang apolitis?

2 Comments

  1. maxmanroe

    Makanya sekarang saya jadi ragu ikut PEMILU 2014, ntah siapa pilihan yang paling tepat. Pemimpin sekarang kelihatan banget tidak tegas, dan tidak bisa mengarahkan para aparatur negara. Munculnya pihak-pihak dari elemen masyarakat yang membawa agama dalam kancah perpolitikan, sebagai pembuat aturan tambahan yang ternyata malah membuat masalah semakin runyam.

    1. Yuli Ardika Prihatama

      Kita harus lebih jeli mas, membedakan figur dengan gerakan yang melatarbelakanginya. Ada figur yang memang baik, tapi terkadang background gerakannya buram. Tapi ada yang memang dasar gerakannya baik, tapi sayang pelaku2nya tidak seideal dan sebagus gerakan yang menaunginya. Jadi yang penting ga gebyah uyah dan mudah memvonis.

      Salah satu inspiratorku bilang, tugasmu sekarang apa? nek jadi aktivis kampus ya tunaikan amanahmu dengan baik, nek udah di masyarakat yang edukasi masyarakat dengan baik, nek jadi pengusaha ya latihan belajar jujur,….. bla bla, tapi beliau di akhir bilang dan jangan menjadikan jabatan eksekutif atau legislatif itu sebagai obsesi. Boleh dan mungkin suatu saat wajib mau kalo umat membutuhkan, tapi nek masih terbiasa terobsesi dan masih punya potensi senang harta (termasuk nek istrinya juga sumber penyakit gila hartanya) ya mending ga usah maju, karena pasti akan jadi perusak berikutnya.

      Aku yakin masih banyak orang yang baik kok mas. Baik yang di ranah politik, di sosial, maupun di ranah2 yang lain. Cuma sekarang kita diuji agar bisa bersabar dan tidak banyak menyerang orang lain. Kalau pun mengeluh lebih baik gunakan bahasa yang global saja.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.