Telah kupetik setangkai bunga
Di dalam dunia ini
Sebagai penghias yang mulia
Dan mewangi
………………. (Maidany – Cinta Dalam Cinta)
Hu hu hu, sejenak teringat lagu yang indah di atas waktu aku mau menulis kisahku waktu ke pernikahannya bulik Mega di Ngawi. Yah, lagu Maidany yang terkenal mellow tapi sangat kusuka. Dan mengapa juga aku memberi judul postingan ini dengan Green Married? Simak liputannya (serasa berita)
Serasa Eksekutif Muda
Bulik akhirnya menikah. Setelah beberapa waktu sudah belajar ngemong anak-anak di Sekolah Alam Bekasi. Ga kebayang deh bagaimana beliau yang begitu kocaknya kemudian bersama dengan anak-anak di sekolah alam dan rame-rame belajar. Yang pasti seru dan mengasyikkan. What ever, kali ini aku mau membahas pernikahannya.
Perjalanan dimulai dengan minibus berkapasitas 15 orang yang kebetulan hanya dinaiki separuhnya 12 penumpang. Aneh tapi keren. Berasa eksekutif muda, bisa selonjor, tiduran bahkan jungkir balik di kendaraan kan. Dari sekian penumpang itu ada aku dan tanteku yang ikut di bus ini. Bus yang sopirnya ramah dan aku bisa berkomunikasi dengan bahasa Jawa tingkat dewa dengan beliau (Penting? Terserah mau bilang apa).
Dari Alaska hingga Rumah Cinta
Ada hal yang kusuka dalam perjalanan ini, bus yang biasanya nrayek penumpang dari kawasan pedalaman Karanganyar ini, ternyata tetap menunjukkan kegagahannya dengan mengambil jalan pintas terdekat ke Ngawi. Biasanya sih bus-bus seperti itu lewat Sragen, tapi kali ini justru kami diajak menyusuri kawasan pedalaman Karanganyar, melewati hutan Karet. Karenanya aku teringat dengan istilah Alaska (Alas Karet). Dan karena itu pula aku kembali teringat saat-saat perpisahan bersama keluarga bidang Pembinaan SKI FKIP UNS. Jadi ingat wajah-wajah sahabatku di masa itu (dan tetap sahabat kok sampe sekarang).
Kemudian aku juga melihat pabrik karet dengan dukungan bau limbahnya yang menyengat dan mencemari sungai. Nah, ketemu nih. Aku mau bilang bahwa adanya pertumbuhan industry di Indonesia yang tidak diikuti dengan pemeliharaan lingkungan berarti sebenarnya kita mengalami minus pertumbuhan ekonomi, jika diteropong dari sudut pandang Prof. Emil Salim, seorang guru besar UI yang terkenal getol menyoroti soal lingkungan hidup.
Aku melihat hutan-hutan karet yang sejuk itu ternyata membuat sebagian manusia industrial menutup mata atas kerusakan lingkungan yang terjadi akibat limbah yang dihasilkan oleh proses teknologi yang tidak bersahabat dengan lingkungan. Dan ini bukan berarti cinta, padahal aku sedang bepergian untuk menjenguk orang yang telah menemukan cintanya. Oh Cinta, kau terabaikan di sini sayang. Aduh aduh, sayang sekali manusia sekarang mulai hilang cintanya terhadap lingkungan. Itu baru masalah karet, industry, dan limbah yang mencemari lingkungan. Demikian keluhku ketika aku melihat fenomena itu. Namun aku tetap gembira, karena hutan itu tidak pernah kujumpai di Gunungkidul. Lagi pula aku sedang melakukan perjalanan ke rumah cinta, jadi harus tetap ceria dong. Secara, mau ketemu bulik juga dan suaminya bulik. Ha ha ha.
Pernikahan Adalah…
Setelah sampai di sana ternyata ijab qabul telah selesai. Yah, tak mengapa lah. Yang penting sudah melihat bulik bahagia dan bisa memegang tangan suaminya sekarang. Tapi ibarat bumi dan langit, aku melihat dua manusia yang berbeda dipersatukan oleh Allah di sini. Tapi bukan karena laki-laki dan perempuan beda jauhnya (itu mah jelas, masak menikah dengan sesame jenis). Suami bulik Mega, mas Aep namanya, orangnya super kalem (nggak tahu deh ya besok kalo udah lama dengan bulik). Padahal bulik orangnya asyik dan selalu penuh dengan keanehan yang membuat orang tertawa terpingkal-pingkal sampai jungkir balik. Wow, pasti akan terjadi akulturasi kebudayaan tingkat akut yang begitu mengesankan nantinya. Yang pasti aku mau ngucapin, barakallahu laka, wa baraka alaykum, wa jama’a bainakuma bikhoir. Amiin, semoga pernikahan bulik senantiasa langgeng dan dinaungi kasih sayang-Nya.
Hal yang mengesankan adalah waktu lesehan dan saling mengenalkan baik dari teman-teman bulik di UNS dan suami bulik yang dari IPB. Ha ha ha, semuanya jadi GJ dibawah pimpinan bulik. Dan tahukah, bulik mengenakan busana hijau, sedangkan mas Aep mengenakan hem biru, kaya seragam dosen FKIP. Tidak penting sih, tapi aku jadi merasa benar waktu menulis judul postingan ini dengan Green Married. * Semakin tidak penting
Dan di sinilah aku menyaksikan untuk yang kesekian kalinya keajaiban pernikahan dua anak manusia. Tidak akan pernah terpikirkan bagaimana manusia itu dapat menikah. Semua berjalan seperti ketentuan takdir-Nya. Tinggal kita memilih, mengikuti jalan yang benar atau memilih cara-cara yang dimurkai-Nya. Bagaimana sebaiknya menikah. Menikah dengan cara yang terbaik dan orang terbaik, bukan menikah mengikuti hawa nafsu. Menikah karena untuk menggapai keridhoan-Nya.
Aku teringat dengan hal-hal yang mungkin masih mengganjal di pikiranku saat ini. Tingkah lakuku, jejak-jejak keburukanku, yang semuanya itu terkadang membuatku minder untuk segera mengazzamkan tekad meminang sang bidadari yang entah di mana berada sekarang. Iya, segera menuntaskan sunnah Rasulullah yang sangat beliau tekankan ini bagi seorang pemuda agar potensi-potensi maksiatku yang rawan sekarang segera terkikis habis dan diganti dengan kecintaan dan kebahagiaan. Jadi, pernikahan adalah tempat terindah untuk menyatukan dua hati yang telah saling bicara meski tak mengenal siapa. Aku tahu itu, dan semoga aku bisa menyiapkannya sampai waktu yang tepat.
Demikianlah sekelumit ceritaku. Ada yang sudah siap menikah? Yah, aku cuma kok. Kalau udah siap menikahlah duluan. Ha ha ha. Aku juga mau menikah kok suatu saat.
waaah curang.. ttg pernikahanku ga ditulis ceritanya sm dika -_-“
Mbak, baru bisa komen di foto itu mbak. Sulit didefinisikan.
Saya itu pakai kebaya warna biruuuuuu bukan ijoooo @_@
Iya to bulik. Haduh, trus gimana, nasib judulku terlanjur terkenal. Dimaafkan ya. #keponakan yang nakal