Dari Monas hingga Istiqlal

Pagi ini aku harus segera cabut. Pertama, kawanku kan masuk kerja dan pulangnya maghrib. Jadi kalo aku ngendon di kosannya, takutnya waktu ke stasiun ketinggalan kereta. Padahal aku bawa barang berat berupa koper gedhe yang biasa ku bawa waktu ke Jerman kemarin. Tapi biarlah, pasti hari ini akan menjadi cerita menarik.

Setelah menanti cukup lama bus di halte pasar baru, akhirnya dapat juga tumpangan dari sana menuju Harmony Central Busway. Dari situ perjalanan kulanjutkan ke monas. Sesampai di sana aku mendapati gerbang monas di dekat halte itu ditutup. Yah, muter deh. Padahal ini bawa robot gedhe lagi. Mirip TKI yang lagi tersesat di tengah kota akhirnya kuputuskan untuk nekat menyusuri monas sambil berharap ada orang jualan makanan berat (bukan mie, apalagi roti). Jauh sudah aku berjalan, melihat Monas yang megah itu. Ah biasa, soalnya sudah berkali-kali. Dulu waktu pertama kali lihat ini yah rasanya seperti lihat menara Eiffel waktu di Paris beberapa waktu lalu.

Tanpa pikir panjang akhirnya aku memutuskan untuk terus berjalan menuju masjid kebanggaan Indonesia, masjid Istiqlal. Di sana nanti kan bisa menitipkan koper, sehingga kalau pun mau balik lagi ke Monas, aku bisa leluasa, tidak seperti TKI yang tersesat. Ternyata jauh sekali, apalagi hanya satu gerbang saja yang dibuka. Untung di jalan itu aku ketemu penjual makanan mirip tahu kupat, tapi sepertinya bukan. Ah, ga tahu lah, yang penting aku dapat tempat untuk sarapan. Nah, ini nih tempat yang kusukai kalau makan di Jakarta, bisa berbagi rezeki dengan rakyat kecil. Lumayan, cuma 8 ribu saja kok, ga ada satu Euro.

Sesampai di masjid, aku langsung parkir koper di lantai dua. Ada dua penjaga, yang pertama bapak tua yang baik, yang kedua bapak paruh baya yang kurang ramah. Ih, jadi penjaga masjid kok menyebalkan gitu ya. Perlu dikasih kuliah dulu nih ama pak Jokowi tentang etika melayani. Apalagi ini melayani jamaah, tamu Allah. Langsung menuju ruang utama dan shalat dhuha. Hemm, segernya shalat di mesjid yang mewah seperti ini. Karpetnya empuk dan bersih.

Enaknya kemana ya habis ini? Pikirku. Oh iya, ke perpustakaan aja dah. Ternyata di sana cukup banyak koleksinya. Bahkan seandainya aku paham betul tentang bahasa Arab, di sini banyak sekali kitab-kitab rujukan, khususnya Kutubus Sittah dan berbagai kitab hadits lainnya. Ada juga kitab-kitab tafsir lengkap satu paket. Wah, kayaknya aku punya ide deh ini, sekaligus punya tempat kepo yang asyik kalo pas ke Jakarta dan ga ada kerjaan. Akhirnya aku langsung menyambangi rak-rak yang berisi buku berbahasa Indonesia dan bersifat kontemporer.

Obamamia

Pertama kali lihat koleksi populernya, aku mendapati buku yang ditulis langsung oleh Presiden Obama. Yah, menarik ni untuk di baca. Aku mulai dari sinopsisnya, prolog-prolog para ahli dan daftar isi. Akhirnya kuputuskan hanya untuk membaca pandangan Obama terhadap Indonesia, salah satu tanah yang menjadi sejarah hidupnya. Dari tulisan yang hampir sepanjang 10 halaman itu aku mengetahui pemikiran dan cara pandang Obama terhadap negeri kita. Dengan blak-blakan beliau menyebut bahwa Amerika lah salah satu pihak yang berada di balik kekacauan 1965 hingga reformasi 1997. Berbagai strategi telah dijalankan sehingga Indonesia adalah salah satu anak didiknya sekaligus sapi perahnya, demikian opiniku berdasarkan apa yang telah ditulis oleh Obama.

Namun demikian, aku harus mengakui bahwa dialah presiden Amerika di abad ini yang memiliki kepedulian tinggi dalam  mengentaskan kemiskinan dan lebih berpihak kepada masyarakat bawah. Berbagai manuvernya selama memimpin negara adidaya itu harus diakui sebagai gebrakan yang lebih berarti jika dibandingkan oleh Bush atau beberapa presiden sebelumnya. Mungkin dia akan menjadi Kennedy versi berikutnya.

Ada kejadian menarik waktu aku di perpus. Kebetulan kan ada komputer yang juga disediakan bagi pengunjung. Ternyata konek dengan Internet. Jadilah aku beralih dari membaca di meja menuju layar kaca itu untuk membuka email, fb dan twitter. Sampai-sampai bahuku ditepuk petugas perpus, “Mas, komputernya itu untuk cari katalog buku, bukan buat gituan”. Aha, malu banget rasanya. Yah, ketahuan deh kebiasaannya.

Renungan Akhir

Usai shalat ashar dan makan mie ayam Ijo di kantin masjid aku segera mengemasi barang-barang untuk menuju stasiun Pasar senen. Selama perjalanan aku mencoba merenung untuk melihat, membandingkan, kemudian membuat kesimpulan untuk dirikut atas berbagai realita yang sering kurasakan di sini dengan iming-iming kemajuan di Jerman yang pernah kurasakan beberapa saat. Adalah hal bodoh jika niatku kembali ke sana nanti hanya untuk melarikan diri dan menikmati kenyamanan hidup di negara maju, tapi lebih bodoh lagi adalah menyibukkan diri dengan urusan-urusan riweh yang jauh dari dewasa di negeri ini, terutama yang berhubungan dengan politik praktis dan kekuasaan.

Lagi-lagi layanan transportasi publik yang memang masih tidak layak ini harus membuatku geram. Bus yang lama nunggunya, kondisinya memprihatinkan. Kereta jarak jauh yang masih memakai diesel (itu artinya pemborosan energi serta kontribusi polusi). Yah, apa sih kerjaannya orang yang banyak ngomong politik sekarang. Politik apa, politik yang nyampah, politiknya binatang, dan politiknya setan. Aku rindu politik yang beretika sebagaimana para khalifah dahulu pernah bertahta, mereka memang saling berebut kuasa, tetapi visi melayani dan melindungi rakyat adalah yang utama. Aku rindu politik ekologi dan konservasi, yang tidak hanya bicara uang dan kemajuan semata-mata tetapi bagaimana memikirkan dampak lingkungan dan kontribusi menjaga alam. Aku rindu politik intelektual yang menjadikan pendidikan alias pemajuan pola pikir prioritas yang selalu dipegang para pelaku politik itu sendiri.

Nah, politik Indonesia sekarang apa? Tak tahulah, isinya orang-orang kemaruk, kadang mencampuradukkan agama untuk menghalalkan segala cara, kadang sangat sekuler hingga membuat agama dan kekuasaan itu dua hal yang sangat berbeda, kadang hanya sebuah obsesi melebarkan kerajaan bisnis. Parah bener yah. Beginilah ketika kaum muslimin yang notabene mayoritas di negeri ini, tetapi sudah rusak pola pikirnya dan terserang penyakit Wahn (cinta dunia dan takut mati).

Mari sahabatku kaum intelektual, kita hentikan pembodohan-pembodohan kelas kakap ini. Jangan korbankan diri kita untuk tumbal-tumbal mereka berikutnya. Menjadi mahasiswa itu akan memiliki tanggung jawab akhirat yang lebih besar dari pada mereka yang saat ini tidak pernah sekolah. Ingat itu! Jangan mau jadi kacung pemikiran. Mending jadi tukang sapu atau tukang sampah, asal pemikiran kita tidak dikendalikan oleh doktrin orang lain. Hanya al-Quran dan as-sunnahlah, serta keteladanan para ulama dan mujahidlah yang berhak mengisi benak pikiran kita. Dengan kejujuran, integritas, dan pengorbanan.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.