Usai kuliah kami segera menuju mensa (kantin) untuk makan bersama. Sebenarnya seorang profesor tidak seharusnya makan ditempat seperti ini, paling tidak di kafetaria kampus. Tapi karena beliau ingin mengajari kami secara langsung beliau merelakan diri untuk membimbing kami dalam memesan makanan. Karena khawatir bayarnya mahal aku hanya memilih menu nasi dan sayuran (vegetarian yang mencari makanan halal, plus harga murah). Celakanya ada salah satu temanku yang terlanjur memilih menu yang salah, yaitu kentang dan daging yang ternyata itu adalah daging babi. Begitu dia tahu akhirnya cuma lemes dan tidak doyan makan.

Di sini aku mendapat pelajaran berharga bagaimana bagusnya manajemen kantin kampus. Bahkan seorang kasir di sini semuanya telah mahir menggunakan IT. Dari sekian menu yang sangat banyak (sampai tadi bingung dan akhirnya memilih jadi vegetarian), semua dihitung dengan cermat menggunakan sistem database yang ketat sehingga harga yang diberikan itu akuntabel. Bahkan sekedar menggunakan saus dan menggunakan sayur semua ditimbang beratnya dan dikalikan menurut kadar harganya. Alhamdulillah aku cuma habis 2,3 euro (sebenarnya masih mahal) dan bisa menikmati makan siang dengan lahap. Kawanku yang pakai daging babi tadi akhirnya menghabiskan sisa makanan temanku yang lain karena pesan kebanyakan dan kemahalan.

Tak cukup sampai di sini, ternyata setelah makan, semua piring harus kami kembalikan sebelum keluar. Ketika kami mau pergi seperti kebiasaan jajan di kantin belakang kampus UNS, Prof. Tausch memanggil kami dan menasihati. Ah, jadi malu. Kebiasaan yang sangat buruk. Kami memungut kembali wadah tempat makan kami dan mengantarnya ke bagian pencucian. Lagi-lagi di sini juga sudah menggunakan cara yang modern seperti sistem bagasi pesawat. Sisa-sisa dibuang di tempat sampah yang berbeda, dan semua tempat makan ditaruh di atas papan berjalan yang akan diterima petugas cuci. Hemm, semua hanya butuh kerja sama dan kekompakan. Para petugas kantin dan pekerjaan di sini mungkin memang telah dipahami sebagai pekerjaan yang baik sehingga semua bekerja dengan profesional dan penuh dedikasi.

Usai makan siang, Prof. Tausch dan Ms. Ingrid mengantar kami ke kantor WSW. Yaitu pusat pelayanan tiket untuk bus dan kereta api. Dengan membayar 46,3 euro setiap kami, kami bisa menikmati perjalanan bus di wilayah Wuppertal sepuasnya selama bulan Desember. Tinggal menunjukkan kartu tiket itu kepada sopir atau petugas saat pemeriksaan kami bisa menikmati perjalanan ini dengan tenang. Wah, jadi makin tersanjung dimanjakan oleh kota Wuppertal ini jadinya. Kapankan bisa berkontribusi untuk Indonesia dalam mewujudkan sistem-sistem yang sejenis ini. Sejenis, karena mungkin tidak bisa sama seperti ini, tetapi bagaimanapun prinsip pelayanan transportasi seperti ini harus bisa diwujudkan di Indonesia.

Keluar dari kantor aku memborong segala brosur, buku, dan peta yang disediakan secara gratis. Masalahnya, semua ditulis dalam bahasa Jerman. Aduh-aduh, harus belajar lagi membuka memori di waktu SMA. Demikianlah cerita layanan yang mengagumkanku hari ini.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.