Kuliah dimulai jam 8.10 gara-gara beliau harus menunggu keterlambatan kami sampai di kampus. Pada alokasi jam 8.00 – 10.00 ini beliau memberi kuliah kepada mahasiswa keguruan angkatan pertama yang akan mengajar di Primary School tentang kimia dasar dengan topik jenis-jenis asam dalam kehidupan kita sehari-hari. Beliau menyampaikannya dalam bahasa Jerman dan sesekali beliau memberi penekanan dalam bahasa Inggris sambil menolehkan mukanya kepada kami.
Paparannya cukup lugas, penerapan kombinasi metode ceramah dengan metode interaktif cukup bagus. Kemudian penggunaan media LCD, papan tulis, dan praktikum juga sangat berimbang. Dengan asisten Mrs. Ingrid yang cekatan, semua rencana pembelajaran dapat tersampaikan dengan baik. Kami pun yang tidak mengerti bahasa Jerman akhirnya juga dapat menangkap maksud dari kuliah hari ini. Beliau tidak menghabiskan 2 jam untuk kuliah, tetapi menyediakan waktu 10 menit untuk mahasiswa yang mau konsultasi, dan 10 menit untuk jeda di perkuliahan berikutnya. Memang begitulah para dosen disini mengelola waktunya. Hemm, sebuah keteladanan penting yang bagus bagi rekan-rekan mahasiswa yang kuliah di sini. Pantas saja mereka kelak jadi guru yang baik, keteladanan para dosennya saja luar biasa.
Hal yang berbeda dari Prof. Tausch dengan kebanyakan dosen di tempatku kuliah, khususnya para Guru besarnya adalah dedikasi dan keseriusannya dalam mengajar. Aku jadi teringat dengan training value yang disampaikan oleh Pak Asep beberapa bulan lalu. Orang yang profesional itu tidak hanya menjalankan pekerjaannya sesuai dengan SOP, tetapi juga menghayati dan memberi ruh dari apa yang dilakukannya. Mereka menghadirkan hati mereka dalam berkarya karena mereka mencintai apa yang mereka kerjakan.
Dan buah dari kesungguhan mengajar itu dapat dirasakan oleh setiap orang yang bersamanya. Mungkin ini tidak ilmiah, tetapi bukti akan membungkam segala dalih. Kita menjumpai banyak tokoh dan para alim itu memberikan pengaruh berbeda ketika menyampaikan ilmunya dibandingkan orang-orang yang pandai berbicara. Mereka menyampaikan pelajaran dan memberikan keteladanan dengan hati. Benarlah kata para guruku, siapa pun bisa melatih tetapi tidak setiap orang bisa mendidik. Yah, mendidik itu lebih mulia dan lebih bermakna dari pada melatih. Aku setuju itu.
Maka buatlah orang itu mengerti tentang belajar maka dia akan belajar dengan cara terbaiknya. Jangan banyak mendikte orang untuk belajar seperti kita karena belum tentu mereka bisa belajar seperti kita. Dan Prof. Tausch memberi pelajaran kepada kami bahwa menghadirkan hati dan dedikasi itu penting dalam menunaikan amanah sebagai pendidik. Cara beliau mengajar persis seperti teori yang sudah sering kita pelajari dan mungkin juga pernah kita praktikkan. Tetapi lagi-lagi hasilnya itu akan berbeda tergantung siapa yang melakukannya.
Di pergantian jam menuju kelas beliau yang lain. Aku baru sadar bahwa kamera digitalku ketinggalan di kelas pertama sedangkan aku sudah terlanjur masuk ruangan khusus yang disediakan oleh tim Prof. Tausch. Seketika itu juga aku berlari sekencang-kencangnya untuk mengambil kamera yang tertinggal. Berbekal ingatan yang tersisa mengingat rumitnya dan luasnya gedung-gedung yang saling terhubung di Universitas Wuppertal aku mencoba meraih kembali kamera itu. Setelah sempat bingung beberapa waktu akhirnya aku sampai di ruangan tadi. Waktu membuka pintu aku terkejut karena ada seorang dosen yang telah mengajar. Aku meminta izin untuk mengambilnya. Kulihat keheranan di wajah beliau, mungkin baru kali ini melihat wajah Asia yang pelupa harus mengganggu kuliahnya demi sebuah kamera. Terima kasih atas tidak marah dan tetap senyummu wahai dosen yang tidak kukenal.
Dengan bantuan Mrs. Ingrid (lebih tepatnya aku merepotkannya) aku menyusul rekan-rekanku yang telah di kelas bersama Prof. Tausch. Seperti tadi kuliahnya tetap menyenangkan dan aku bisa menikmatinya, sambil sesekali melemparkan pandangan ke arah mahasiswi di sini yang cantik-cantik luar biasa. #sensor berbunyi lagi pasti. Ha ha ha
Yang cantik-cantik mahasiwa Jerman atau yang orang asing nya? :D.
Yang jerman iya, yang asing juga iya. Halah. ha ha ha.
hahaha 😀