Adalah kebiasaanku saat ini, yaitu menebarkan virus “blusukan” kepada adik-adikku yang masih imut-imut hingga yang amit-amit. Untuk apa, agar mereka tetap ingat bahwa kita adalah orang desa. Hidup di atas tanah yang menjadi saksi sejarah pergolakan-pergolakan di masa lalu. Agar mereka tidak bermudah-mudah meninggalkan daerah itu untuk sebuah alasan yang sederhana. Harus cinta, cinta kepada tanah harapan.
Bukit Kenangan
Pertama adalah kunjunganku ke gunungan bagian timur di pekan pertama Ramadhan. Sebagai awalan ramadhan, sekaligus menuruti keinginan adikq yang katanya merasa didiskriminasi gara-gara ga ikut momen jalan-jalan (yah situ juga jalan-jalan kok masih ngambek minta diajak jalan-jalan). Aha, tak masalah. Intinya aku bisa kembali ke bukit kenangan itu.
Itulah bukit kecil dengan formasi batu hitam yang banyak ditumbuhi akasia, mangga dan jambu mede (jawa : jambu mente). Ketika aku menjejakkan kaki di sana, teringat aku sekian tahun silam bagaimana pernah berkejar-kejaran dengan orang-orang yang mengaku pemilik manga gara-gara kami memakan mangga-mangga di sana secara innocent. “Pelem Keong” itulah mangga khas yang lembah kenangan yang begitu diminati pencuri musiman macam kami waktu itu (ga tahu deh sekarang).
Di atas sana aku dapat memandang berbagai pemandangan yang indah. Satu kata yang terucap, “Gunungkidulq masih hijau”. Hanya orang-orang yang telah keblinger jika mereka ditanya asalnya masih berbelit-belit atau malah berbohong. Apa susahnya mengatakan orang Gunungkidul, orang desa. Inilah desaku yang permai, daerah yang juga sangat indah. Sayangnya, mengapa kita lupa dengan semua ini. Aku pun berdiskusi puas dengan adik-adikku yang udah “gaduk kuping” sambil menunggu mereka yang kecil-kecil berkeliaran sepuasnya. Kami pun berfoto bareng dan meninggalkan tempat itu dengan sejuta impian. Dan yang paling mengesankan adalah saat aku mengupload foto-foto itu di FB, ternyata luar biasa. Sahabat-sahabatq yang sekarang menjadi urban worker di ibukota negara begitu antusias dan meluapkan emosinya dalam komentar-komentar yang membangkitkan memori di masa lalu. Indahnya, tempat itu masih teringat kuat pada mereka.
Laskar Mentari
Sekedar penyela yang sekaligus bukan plagiasi atas Laskar Pelangi. Kunjungan kedua ini kami menyusuri gunungan yang sebelah barat. Ternyata tempat ini jauh lebih exotis daripada yang timur. Susunan bebatuan di kawasan ini jauh lebih bagus dan khas. Lebih-lebih kami datang saat matahari baru akan terbit sehingga kami dapat menyaksikan prosesi terbitnya matahari di balik gunung Lawu. Indahnya, inilah apa yang terserlah di dalam al-Quran. Inilah kekaguman yang akan menguatkan keimanan kita kepada sang Pencipta, Allah azza wa jalla.
Dengan personil yang lebih banyak dan bersenjata lengkap (secara hampir setiap anak-anak SMP ke bawah pasti membawa minimal satu pak petasan korek = long rek di saku mereka) kami menyusuri semak belukar di pinggir dusun sebelah barat. Biarlah, asal nanti tidak mengganggu orang-orang. Dari pada diledakkan di pemukiman, jelas akan menggangu orang-orang yang sedang beristirahat pagi atau mengaji. Itulah sebuah pembelajaran awal bagaimana mengarahkan dan memperkenalkan dunia baru pada anak-anak. Merekalah lascar mentari yang kelak akan menjadi penerus perjuangan kami di tanah kelahiran ini.
Hal yang paling berkesan adalah bagaimana aku bisa menatap lebih luas tentang hijaunya hutan di kawasan utara gunungkidul, di bawah kaki barisan gunung gambar yang sekarang rawan pencurian. Oh, itu asset daerah yang harus dilindungi. Kemudian kulayangkan di sebelah barat, di sana ada hutan kayu putih yang pabriknya dulu pernah kukunjungi. Hemm, terkadang terbersit sebuah mimpi besar untuk memajukan daerah. Lagi-lagi pertanyaannya? Lha dirimu sekarang sudah ngapain? Hayo jawab dulu lah, nanti juga akhirnya akan ke sana.
Akhirnya, kisah ini akan menjadi babak baru sejarah bagaimana aku harus berhitung mulai dari sekarang untuk satu tahun ke depan. Aku harus lulus, tapi apakah aku akan menjadi orang kantoran yang disuruh-suruh gitu. Kok sepertinya aku harus menciptakan pilihan itu sejak sekarang. Bukankah Allah telah membentangkan langit ini untuk kita bisa melihat berbagai bintang di sana. Yah, bukankah hidup itu sebuah pilihan. Hakikatnya tidak ada seorang pun yang berhak mengatur diri ini, yang ada adalah bahwa aku harus sadar untuk mengatur diri agar bisa selaras dengan alam dan menjaga hubungan terbaik dengan makhluk-Nya. Mungkin suatu saat pertempuran itu akan terjadi, yakni pertempuran dalam diri antara sebuah idealisme dengan tekanan pragmatism. Siapa yang akan menang? Tak tahulah, tapi aku akan berusaha agar idealisme ini yang selalu menang.
Jika tinggal di sana adalah suatu kebaikan. Kuharap Allah kelak berkenan memberikan pendamping yang sanggup bertahan di tanah yang syarat dengan batuan itu. Bukan untuk bermewah, tapi untuk hidup terhormat di mata alam. Semoga!