Perjuangan itu Membutuhkan Pengorbanan

Saat angin berbalik arah, maka segeralah pasukan Wu menyerbu bersama para pemimpin terbaik mereka, Raja Sun Quan, Panglima Agung Zhou Yu, Jenderal Gan dan yang lainnya. Zhuge Liang pun segera menghidupkan lampion dan raja Liu Bei membuka rahasianya setelah ketika panglima setianya terus mendesak meminta kembali bergabung ke aliansi. Yah semua hadir di saat yang tepat. Pasukan Wu telah berada di puncak semangat mereka untuk bertarung sampai mati karena mereka tidak berharap lagi ada pasukan bantuan setelah pemutusan aliansi. Pasukan Shu yang dipimpin oleh Liu Bei juga gerah karena rasa solidaritas mereka di puncak melihat rekan-rekan mereka telah bertempur membela tanah air mereka. Dua semangat yang berkobar, bergabung, dan itulah saat kemenangan datang.

Kapal Cao Cao yang begitu banyak itu ludes terbakar karena angin yang berpihak kepada pasukan Wu. Kapal itu cepat ludes terbakar karena semua kapal diparkir dan ditambatkan jadi satu (mirip kebakaran rumah di Jakarta). Pasukan Cao Cao yang besar itu pun akhirnya tak mampu membendung serangan dari laut dan darat yang bersamaan. Dari laut pasukan Wu terus menyerang, dan dari darat pasukan Shu mendukung serangan. Cao Cao yang tersadar dari kenikmatannya pun hanya terperangah melihat kehancuran yang ada di depan matanya. Akhirnya kekalahan itu pun terjadi.

Saat-saat yang genting, Xiao pun hendak dibunuh para jenderal Cao Cao yang marah karena menganggap kekalahan mereka akibat si wanita itu. Zi Long dari Shu pun menunjukkan kepiawaiannya sekaligus membalas budi Zhou Yu yang menjadi tameng hidupnya di pertempuran formasi kura-kura saat anak panah akan menembus dadanya. Xiao pun berhasil diselamatkan. Namun malang bagi Shangxiang, karena rekannya yang menjadi kepala batalion pemanah pasukan Cao Cao akhirnya terbunuh saat dirinya berusaha menyelamatkannya. Zhou pun berkata bahwa di pertempuran ini tidak ada pemenangnya.

Begitulah, hakikat pertempuran hanyalah sebuah aktualisasi, karena sebenarnya yang akan merasakan kemenangan itu atau tidak, kitalah masing-masing yang menjadi pelakunya. Maka tak mengherankan jika para sahabat memberikan kesan pada peperangan yang mereka ikuti bersama Rasulullah, bahwa peperangan yang paling berat bukanlah saat mereka mengayun pedang melawan musuh, tetapi menguasai diri sendiri agar selalu lurus di jalan Allah ketika berperang. Sebagai mana Ali radhiyallahu anhu hendak membunuh salah seorang musuhnya, namun karena snag musuh meludahi mukanya dia justru membebaskannya. Ketika ditanya alasannya, Ali berkata bahwa dia khawatir membunuh musuhnya bukan karena jihad fii sabilillah tetapi karena rasa marah akibat ludahan di wajahnya.

Luo Guan Zhong hanyalah seorang penulis yang ingin membangkitkan rakyat China ketika mereka berjuang menggulingkan dinasti Mancu yang menguasai China. Bagi Luo, seharusnya dinasti Han lah yang berhak berkuasa atas negeri Tirai Bambu itu. Liu Bei, Zhuge Liang dan kisah-kisah dicerita itu bukanlah fiktif, mereka memang pahlawan dinasti Han di zaman dulu yang kini tetap diagungkan masyarakat melalui kuil-kuil yang dipersembahkan untuk mereka.

Bagaimana denganku? Bagaimana dengan kalian wahai para aktivis? Shirah nabawiyah, sahabat dan shahabiyah, dan para khalifah adalah kisah terindah dalam kepemimpian Islam. Tentang nama-nama yang menyejarah itu, sudahkah kita ikuti petualangannya? Jangan sampai kita berkata belum, di tengah label dan gelar yang mentereng itu tapi hakikatnya kita orang yang berpikiran sempit yang hanya kenyang karena suapan senior dan orang tua.

Jam 1 malam, agenda nonton bareng pengganti lingkaran inspiratif itu pun berakhir.

2 Comments

    1. Yuli Ardika Prihatama

      Yup begitulah brother! Makanya menjadi penguasa itu mengerikan konsekuensinya. Mari tetap persiapan, dan ga usah ikut rebutan. Pantaskan diri aja!

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.