Tuhan, hari ini aku melihat drama yang tidak lucu. Sendu. Bahkan tidak bermutu. Di sebuah negeri yang katanya potongan surga itu, ada sebuah lakon yang sangat saru. Kisah dari perebutan asmara lewat adu mulut hingga saling sikut bahu. Dua anak anjing yang sejatinya anak manusia saling menyalak, memaki satu sama lain dengan bahasa lain yang entah itu masih bahasa ajaran-Mu atau bukan.

Alkisah di sebuah pertokoan yang ramai dengan tua muda dalam nuansa malam. Muda-mudi berkerumun berjibun memenuhi pinggiran jalan-jalan sempit itu. Tak jelas sedang apa mereka, yang pasti mereka tidak sedang berbicara tentang apa itu garis batas kehidupan, mereka larut dalam fantasi hidup yang tak mengenal garis batas. Fantasi yang mustahil lagi keterlaluan.

Sampailah satu mata yang menjuling dengan desis bisikan yang mengundang letupan amarah. Satu anak anjing menyalak dan anak anjing lainnya membalasnya dengan salakan pula. Ini bukan salak pondoh atau salak contek enak dimakan, melainkan umpatan pilu yang terasa begitu nyampah di telinga. Ya aku tak kuasa memandang bahwa itu dua anak manusia yang sedang rebutan pasangannya. Yang saling pamer kegagahan layaknya singa yang berebut kuasa wilayah di hadapan para betina. Sayangnya mereka bukan singa, bahkan terlalu berlebihan jika kusebut singa. Mereka hanyalah para penganggur yang menghabiskan malam bersama pasangannya yang sama-sama tidak jelasnya.

Bermula saling menyalak, berlanjut saling mencakar, berujung saling menghancurkan. Inikah sebuah kejantanan. Di negeri yang sebagian lain sedang kelaparan atau menunggu datangnya harapan dari Pemerintah Pusat katanya, ternyata ada yang masih sempat untuk berkelahi lantaran banyaknya makanan yang masuk mulai dari cemilan hingga obat kuat. Ironisnya realita itu, negeri yang alay itu terus menyaksikan bagaimana anjing-anjing muda bermunculan. Entah dari mana asalnya, yang jelas negeri ini tidak disediakan untuk anjing yang hobi menyalak atau para pengemis yang berbaju emas.

Tuhan, negeri ini terlalu alay. Ku takut Kau tak beri tangguh lagi atas keterlaluan ini. Jika riwayat negeri ini harus berakhir, kumohon agar aku tidak tercatat sebagai warga yang alay.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.