Berdikari. Begitulah sang proklamator kita sekaligus presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno berteriak-teriak di hadapan rakyatnya. Seruan untuk berdiri di atas kaki sendiri menjadi hal yang berapi-api ketika bangsa ini belum lama menyatakan kemerdekaannya. Jangan serahkan lagi kekayaan kita kepada asing dalam bentuk kerja sama apa pun selagi keuntungannya tidak jelas untuk rakyat bangsa ini.
Tapi sepertinya itu runtuh sejak redupnya sinar putra sang fajar itu. Perlahan, bangsa ini berubah menjadi manja dan ketergantungan terhadap asing. Satu demi satu, pos tambang kita dihibahkan kepada orang-orang asing yang di zaman Bung Karno dibenci habis-habisan karena kelicikan mereka. Alhasil, hari ini mayoritas bangsa kita menjadi pribadi-pribadi yang kehilangan karakternya, bahkan untuk sekedar menjadi bangsa berdikari secara ekonomi.
Itulah salah satu kerangka yang coba dibangun dengan bahasa yang lebih realistis oleh sang master trainer Quantum Confidence, Indrawan Yepe ketika mengisi materi training di pembukaan Asistensi Agama Islam. Mahasiswa-mahasiswa yang hari ini merupakan mayoritas bukti eksistensi kaum menengah ke atas itu ia gembleng untuk kembali menyadari arti kerja keras dan kemandirian. Ya, kemandirian. Karena meskipun orang tua berkecukupan, sesungguhnya memupuk kebiasaan mandiri sejak dini adalah hal yang penting dan membawa manfaat besar di kemudian hari.
Aku pun merefleksikan pada diriku. Barangkali aku termasuk orang yang tidak banyak menemui masalah ekonomi selama ini. Bukan karena kaya, tetapi memang pas saja. Selama sekolah beasiswa mengalir tiada henti. Tiap tahun berhasil meraup uang dari juara-juara perlombaan yang diikuti. Dan kini aku mulai mengerti ketika semua beasiswa itu telah berakhir, aku harus bekerja. Dan aku memilih bekerja sebagai freelancer dan wirausaha. Karena waktunya bisa kuatur sendiri sesukaku tanpa harus banyak mendapat tekanan dan intervensi.
Dari aktivitas bekerja yang belum lama kujalani serius ini pun akhirnya aku mengerti bahwa bagi para intelektual, sudah bukan waktunya lagi menjadikan ijazah sebagai syarat bekerja. Karena yakinlah bahwa ketika kita bekerja, apa pun itu Allah akan memberikan rezeki bagi kita. Kita bekerja karena tekad dan kemauan kita diiringi keyakinan pada Allah, bukan lantaran ijazah kita lantas kita berharap gaji yang lebih besar.
Jika orientasi ini tidak diluruskan, maka setelah jumlah orang kuliah di Indonesia meningkat pesat maka setelah itu akan terjadi bencana pengangguran yang dahsyat. Bukan karena tidak adanya pekerjaan, tetapi orang-orang yang lulus sarjana tidak mau bekerja pada hal-hal yang dipandang rendah masyarakat dan gajinya kecil. Jika ini terjadi maka ada dua hal yang terjadi (dengan dalih memenuhi kebutuhan rakyat dan menekan pengangguran), pemerintah membuka pos PNS yang berarti menambah beban negara atau memberi peluang perusahaan asing untuk berbisnis di Indonesia karena gaji perusahaan asing lebih besar dari perusahaan lokal. Jika itu terjadi, tahulah akibatnya terhadap usaha sektor riil kita nanti.
Kemandirian itu mesti diasah sejak dini. Sejak anak-anak dan sejak kita memulai belajar. Maka kata kerja keras dan tekun adalah hal yang pertama kali harus dijumpai anak di bangku sekolah. Diulang-ulang dan dibiasakan dengan keteladanan. Terkadang aku mau bilang terlambat, tapi sesungguhnya tidak ada kata terlambat. Jika sekarang sadar, ya kita segera berubah untuk memperbaiki. Ayo belajar BERDIKARI.