Tadi pagi sehabis mengirim email ke salah satu rekan yang udah menunggu kirimanku sejak malam, kusempatkan diri untuk bercukur di tempat yang dulu pernah menjadi langgananku sejak kecil. Seorang tukang cukur yang dulu ketika masa mudanya adalah kiper tim sepakbola kecamatanku. Aha, alhamdulillah pagi ini masih buka. Akhirnya aku bisa cukur agar kekeritingan rambutku tak kian menampak.

Sederhana Pikirnya

Di tengah penatnya menunggu antrian, datanglah seorang kakek tua yang begitu khas dengan lintingan rokok di belah jarinya sambil membawa benih jagung super. Seorang kakek yang kemudian kuketahui berasal dari desa yang sama denganku. Dia datang dengan diantar kerabatnya (mungkin anaknya, mungkin juga menantunya). Terjadilah pembicaraan antara beliau dan orang yang tengah dicukur (antrian tepat sebelumku).

Pembicaraan berawal dari isu pemilihan lurah di desa sebelah, tempat orang yang dicukur itu tinggal. Aku kemudian jadi teringat dengan pembicaraan dengan ayah waktu sarapan pagi tentang kandidat calon lurah yang ada. Dan pembicaraan siang ini aku mendapat klarifikasi dan muatan pembicaraan yang cukup bermanfaat. Intinya, orang tadi mengaku puas dengan lurah yang sekarang memerintah. Berbagai infrastruktur desa dapat terpenuhi. Maka dia berharap istrinya yang menjadi calon lurah untuk pemilihan periode berikutnya terpilih. Hal itu pun diamini sang kakek dengan berharap pula ada perubahan nantinya di desaku setelah terjadi pilihan lurah yang baru yang masih dua tahun lagi.

Pembicaraan sang Bapak kepada kakek tadi sangat sederhana. Mereka hanya membicarakan tentang pembangunan yang nyata, yang mampu mengakomodasi kepentingan rakyat. Padahal sedikit banyak aku tahu bahwa lurah yang mereka puji itu sebenarnya termasuk orang cukup mengerikan dalam manuvernya. Namun sepertinya semua itu terlupakan ketika rakyat pun menikmati buah manuvernya dalam melobi dana-dana yang besar dari pusat meskipun dia sendiri termasuk orang yang ikut menikmatinya dalam jumlah besar. Ketika pernah bergulir isu bahwa dia menggelapkan ratusan sak semen, rakyat tidak begitu terprovokasi karena mereka melihat semua jalan di desa itu telah halus dengan corblok, setelah beberapa tahun silam hanya bongkahan batu kapur yang terasa begitu tidak nyaman ketika dilewati kuda besi (termasuk aku waktu sering melewatinya).

Potret Pemimpin Visioner

Aku kemudian jadi teringat bagaimana dulu pernah memiliki seorang lurah yang menurutku begitu visioner. Yang membuat desaku memiliki instalasi air bersih dari bantuan kedutaan besar Denmark, bahkan sang duta besar kala itu Mr. Michael Stanberg bersedia berkunjung langsung ke desaku. Tidak hanya itu, bahkan bantuan makanan sehat (SUN kedelai) pun berdatangan tiap bulan dari UNICEF. Lebih lanjut, bahkan bisa terselenggara event Festival Keseniah Yogyakarta yang bisa menghadirkan berbagai kesenian rakyat baik yang lokal maupun mendatangkan dari luar desa. Kemudian masih ada lagi turnamen-turnamen olah raga yang terselenggara tiap tahun. Meskipun beliau berasal dari jajaran TNI, namun beliau bukan orang yang anti Islam, bahkan setiap Ramadhan beliau meminta jadwal minimal sekali mengisi tausiyah tarawih di 14 masjid. Satu paragraf di atas mungkin belum cukup menggambarkan bagaimana beliau memerintah desa kami selama hampir 7 tahun sebelum akhirnya sebuah musibah mengantarkannya ke haribaan sang Pencipta.

Bagi yang kenal beliau lebih dekat, memang banyak hal yang dirasa tidak baik di belakang beliau. Isu tentang pencurian kayu dan pembongkaran kuburan-kuburan tua untuk dieksploitasi kayunya yang bernilai puluhan juta sesekali menghiasi pembicaraan masyarakat. Yah memanglah demikian manusia, ada sisi baiknya namun juga terlihat juga sisi buruknya. Aku pun juga tak memujinya berlebihan, karena beliau hanyalah manusia biasa. Namun aku salut dengan visinya untuk membangun desa terlepas bahwa beliau juga berambisi untuk menumpuk kekayaan yang banyak. Hanya yang aku ketahui selama itu, beliau tidak pernah menyelewengkan uang rakyat, apalagi uang pungutan atau uang dari pusat yang memang diberikan rakyat. Beliau banyak mengobyek dan memburu dana-dana ke sumbernya, mungkin untuk dinikmatinya dalam jumlah banyak, namun rakyat juga ikut merasakan pembangunan itu, salah satu buktinya adalah sekelumit kisah di atas.

Membangun Kepemimpinan Kultural

Melanjutkan pembicaraan tentang bapak dan kakek tadi. Sang bapak kemudian mengalihkan tema pembicaraan tentang sekolah anak-anaknya. Sang kakek pun menanggapi tentang kondisi cucu-cucunya yang hari ini ternyata masih ada yang tidak sekolah. Beratnya biaya sekolah hari ini membuat sang bapak berkata, “sing penting baune taksih pajeng De”. (Yang penting tenaga saya masih berharga, untuk bekerja). Sederhana sekali, kebanyakan orang desa hari ini di daerahku tak cukup jika hanya menggantungkan hidupnya dari ladang dan sawahnya. Multi kerja, mulai dari menjadi tukang kayu, tukang bangunan hingga tukang-tukang yang lain akan ditekuni oleh orang-orang paruh baya hari ini agar anak-anaknya dapat sekolah termasuk dapat memiliki hape dan kendaraan yang baik.

Maka tak heran jika kemudian banyak orang tua berharap sekaligus menjadi standar bahwa jika anaknya lulus sekolah menengah, mereka bisa bekerja ke Jakarta atau kota besar lainnya. Sehingga mereka dapat mengirimi orang tuanya tiap bulan sebagai balas budi kepada anak-anaknya. Mungkin ada yang tidak seperti itu, tetapi paradigma ini telah mengakar di sebagian besar masyarakatku hari ini hingga akhirnya sulit menemukan pemuda produktif di desa untuk mau berpikir dan memajukan desanya. Yang tersisa di desa kebanyakan para pemuda yang memang mengalami “kegagalan” pendidikan sehingga tidak seberuntung mereka yang berhasil merantau di kota.

Maka apa solusinya? Dibutuhkan puluhan bahkan mungkin juga ratusan pemimpin muda baru yang memahami kultur masyarakat. Yang mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat yang rata-rata sangat ortodoks plus konservatif dengan visi masa depan untuk mewujudkan masyarakat madani. Pemimpin yang mampu berbahasa sederhana kepada masyarakat namun mampu mentransformasi pemikiran mereka secara kultural sehingga masyarakat menjadi cerdas dan makin berkembang. Dan tentunya pemimpin yang solutif untuk mengentaskan berbagai permasalahan riil masyarakat, yang tidak hanya beretorika namun miskin aksi nyata.

Tentang kepemimpinan kultural ini, maka aku jadi terharu ketika mengingat shirah nabawiyah tentang kisah kepemimpinan Rasulullah. Ketika ada ejekan dari tokoh Quraisy yang mengatakan bahwa yang lebih pantas menjadi nabi itu adalah dirinya, yaitu al-Walid bin Mughirah. Dia telah menghabiskan banyak harta untuk menjamu tamu dan mencitrakan dirinya. Allah telah mengejeknya dalam surat al-Balad karena kesia-siaannya itu. Yah, Rasulullah adalah potret pemimpin kultural sejati, yang mampu menyampaikan risalah Islam ini ditengah masyarakat yang rusak luar biasa. Beliau membuktikan bahwa simpati rakyat itu tidak hadir dari sebuah pencitraan, tetapi dari kedekatan personal dan solusi yang dia hadirkan. Cukup sudah ayat-ayat di sebagian akhir surat al-Balad membuktikan bahwa beliau itu adalah sosok yang menghadirkan solusi di tengah masyarakat.

Hal ini semestinya menjadi perenungan kita semua yang terobsesi dengan masalah kepemimpinan dan politik. Baik yang memang ingin berkuasa maupun mendukung orang yang berkuasa. Apakah pencitraan dan penokohan orang itu adalah strategi yang dibenarkan jika kita tidak mengimbangi dengan pembinaan yang lebih intensif terhadap calon-calon pemimpin yang dihadirkan. Adalah kenaifan hari ini ketika partai politik sibuk mencitrakan orang-orangnya agar seolah-olah “baik” dimata rakyat lewat corong-corong media yang mereka kuasai. Tidak salah memang, karena demikianlah demokrasi. Tapi jika ujung-ujungnya transaksional atau mungkin lebih parahnya adalah demokrasi tanpa gagasan, itu akan menjadi sesuatu yang sangat mengerikan. Tak luput juga hari ini di kalangan aktivis dakwah yang lupa untuk membangun dakwah kultural dan membangun kepemimpinan kultural.

Dakwah itu sebenarnya mengajarkan kita untuk menjadi manusia kultural. Manusia yang menyatu menjadi bagian dari manusia lainnya namun memberi warna dan bersinar karena kebaikannya. Sehingga sinar itu mencerahkan pemikiran yang rusak, menerangi hati-hati yang gelap dan memancarkan energi perbaikan untuk lingkaran sekitarnya. Ketika disebut kultural seringkali banyak yang terobsesi dengan budaya dan menghalalkan tradisi sebagai sarana dakwah. Bukanlah demikian, karena hakikatnya manusia itu memiliki persamaan nilai-nilai kebaikan yang universal dan Islam-lah yang sebenarnya mampu menyentuh sisi-sisi itu karena memang karakteristik Islam itu universal.

Jika dakwah Islam ini ingin mengakar di masyarakat, maka kuncinya adalah pada pribadi para aktivis dakwahnya. Apakah bisa menjadi pemimpin kultural atau hanya sekedar orang-orang yang sok bisa memimpin dan merasa tinggi karena status kekaderannya. Semoga kata ini dapat menampar pipi yang menulis, yang harus melawan dirinya sendiri dari kesombongan dan merasa benar sendiri. Pemimpin kultural, kunci perubahan bangsa ini.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.