Sekolah, aktivitas berseragam, berangkat pagi-pagi dengan buku-buku di tas, datang cepat-cepat sebelum terlambat dan dihukum, lalu sapa bapak ibu guru yang necis dengan seragam dan sepatu hitam mengkilatnya, lalu cium tangannya dan masuk kelas. Kira-kira begitu kan gambaran umum di setiap kepala banyak hari ini tentang sekolah.
Lanjut lagi ketika dikelas. Semua siswa dengan tangan sedeku di atas meja memperhatikan guru yang menerangkan pelajaran tentang indahnya Indonesia. Negeri yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud sampai pulau Rote. Negeri khayalan yang jangankan dikunjungi, dilihat-lihat gambarnya pun belum tentu. Belum lagi gambar yang dilihat adalah update 5 tahun terakhir.
Aku ingin teriak hari ini tentang pendidikan yang mengkhayal itu. Mungkin pendidikan yang diselenggarakan atas nama “kedisiplinan“ memang terlihat menghasilkan produk yang disebut kompeten. Tapi bagaimana jika mereka diminta untuk berbuat sesuatu untuk negeri ini di luar buku dan penugasan Bapak/Ibu Guru? Apa jawabannya. Tidak tahu. Mungkin jawaban ini tidak 100 % benar, karena boleh jadi kita mendapati ada yang bisa menjawab, “Saya bisa membuat … Pak“.
Ah, ngomong apa sih aku. Ini mungkin karena perjalananku hari ini yang menemukan cerita tentang anak-anak yang sekolah tetapi justru pikirannya dibooking oleh buku. Tapi sudahlah, ini hanya pelepas rasa galau yang berkecamuk karena menikmati hidup yang penuh paradoks di negeri yang kucintai ini. Sudahlah, mari kita lakukan hal kecil untuk melakukan penyelamatan ini sebelum 2015 saat AFTA berlaku dan setelahnya.