Sejak SMA, aku risau dengan kronik sejarah yang putus dan aneh. Meski ketika SD pernah bercita-cita jadi guru SD, ketika SMP mau jadi guru IPS SMP (gara-gara suka sama pelajaran sejarah), hingga akhirnya SMA masuk di IPA atas dasar prospek masa depan, tenyata kecintaanku untuk belajar sejarah tak pernah luntur. Silih berganti mulai dari penyuka Olimpiade Matematika bertahun-tahun, hingga pindah ke fisika saat kuliah, sejarah tetap menjadi ilmu favorit yang kupelajari. Tak heran jika aku lebih memilih mempelajari buku-buku yang berkonstruksi sejarah dari para penulis yang bagus ketimbang mendalami ilmu fisika yang lebih mendalam.

Dalam pikiran hematku pun, kalau hanya mau jadi guru fisika SMP – SMA, khatamkan buku Serway atau Paul J. Hewit itu sudah cukup untuk membuat tribulasi di kelas dan membuat muntah para siswa yang hari ini mulai belajar matematika di tengah jam belajar fisika. Bagaimana tidak, di saat pelajaran fisika baik guru maupun siswa kebanyakan hanya melakukan modus buka buku soal, tulis diketahui, ditanyakan, rumusnya apa, angkanya dimasukkan, lalu dihitung dan ketemu hasil akhir. Biar jawabannya sempurna jangan lupa diberi satuan.

Barangkali dalam pembelajaran fisika saat ini (kecuali sedikit saja dari guru-guru yang aneh, termasuk yang pernah mengajariku di waktu SMA), sudah jarang diluangkan waktu untuk membuat siswa menemukan jawaban mengapa Gir depan sepeda lebih besar dari pada Gir belakang, namun ketika diterapkan di sepeda motor jadi kebalik. Sekali aku pernah menerapkan saat PPL (karena dapat legitimasi dari dosen pembimbing) aku menjadi musuh sebagian siswa yang tiap hari les. Alasan penolakan mereka sederhana, pembelajaran fisika kok nulis dan bikin gambar, tidak membahas atau latihan soal. Bukan salah siswa sih, tapi mungkin gara-gara kebijakan kelulusan dengan Ujian Nasional dan adanya sedikit bonus bagi sekolah yang nilai Ujian Nasional-nya bagus.

Tentang Ujian Nasional, tentu sekolah-sekolah di Jawa siap sedia dengan berbagai kebijakan yang silih berganti itu. Mau ujiannya sulit, guru-gurunya telah pasang badan ketika siswa yang diajarnya tiga tahun ada yang tidak mampu mengalahkan soal-soalnya. Tapi itu tidak untuk banyak sekolah luar Jawa. Bahkan gurunya saja tidak mampu mengerjakan soal-soal yang dibuat dari Jakarta itu. Jika gurunya saja tidak bisa, bagaimana dia akan menyelamatkan muka sekolah dan anak didiknya dengan sedikit “kecurangan“ demi kebaikan (dalam bahasa novel Perang karya Putu Wijaya), demikian kesaksian salah satu pendamping sekolah pedalaman yang telah menjadi direktur Makmal Pendidikan DD.

Ah, itulah omong kosong pendidikan hari ini. Itulah mengapa Pak Indrawan Yepe menasihatiku agar aku tidak menjadikan guru sebagai profesi. Guru adalah tanggung jawab, hutang budi kepada negara yang membiayai, kewajiban insan-insan yang telah menjalani pendidikan. Itu wajib ditunaikan baik dibayar atau pun tidak. Maka kalau meminjam istilah pelatih timnas U-19, Om Indra Sjafri tidak ada hitung-hitungan jika berurusan dengan negara. Tapi nampaknya sertifikasi ini membuat sebagian para pendidik mulai membuat perhitungan dengan negara, kita lihat saja 3-5 tahun ke depan. Benarkah tambahan uang saku itu memberikan jaminan untuk perbaikan Indonesia.

bersambung ….

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.