Aku masih terngiang dengan kata-kata Pak Agung Pardini saat dia mengatakan jurusan kuliahnya. Doktor yang waktu sarjananya itu belajar di jurusan sejarah mengatakan bahwa dirinya lulusan fakultas teknik jurusan teknik rekonstruksi masa lalu. Semua hadirin tertawa, begitu juga aku mendengar asosiasi dari SEJARAH sebagai jurusan TEKNIK REKONSTRUKSI MASA LALU.

Sejak SD sering kita mendengar bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Sejak saat pertama kali mendengar itu, silih berganti pemahamanku mengalami perubahan dan revisi tentang pernyataan itu. Seperti halnya ketika dulu sejak SD dibacakan teks PANCASILA. Lima kalimat yang diulang-ulang begitu membosankan tiap hari Senin lalu dilupakan saat seragam abu-abu putih itu ditanggalkan. Terbukti sebuah stasiun TV pernah melakukan investigasi di kalangan mahasiswa dan orang-orang tua non akademisi ternya ada di antara mereka yang sudah lupa teks Pancasila tersebut.

Kalau mendengarkan lagunya Iwan Fals, Bangun Putera Puteri Pertiwi ada syair yang berbunyi …. dan Pancasila bukan rumus kode buntut, yang hanya berisi harapan, yang hanya berisi khayalan. Benang merahnya terlihat bagaimana hari ini aktivitas-aktivitas di negeri ini penuh sekali dengan formalitas. Aturan dinas penuh dengan formalitas, sehingga penganggaran seragam lebih diperjuangkan ketimbang inovasi pengembangan SDM. Tradisi-tradisi masyarakat pun juga hanya formalitas tanpa pemaknaan yang benar dari awalnya sehingga hanya menjadi pepesan kosong. Bahkan sekolah menjadi jerat tradisi yang dipahami sebagai aktivitas bersergam, datang pagi-pagi, duduk di meja, dengarkan guru, kerjakan soal, lulus, lanjut lagi sampai dapat gelar tertinggi dan kerja dapat gaji.

Ternyata sejarah menjadi penting untuk dipelajari. Dia bukanlah ilmu alat seperti kebanyakan disiplin ilmu yang dipelajari di kuliah. Sejarah adalah landasan filosofis yang membangkitkan kesadaran kehidupan berbangsa dan menjadi manusia. Maka ketika buku-buku sejarah hari ini hanya menjadi dongeng membosankan di kalangan siswa, diajarkan dengan cara yang membosankan pula, dan dihafalkan sebagai kronologi masa lampau tanpa menimbulkan bara kebangkitan jelaslah ada masalah. Mungkin masalah sejarahnya yang telah didistorsi dan didesktruksi. Mungkin juga SDM pengajarnya yang hanya menjalankan aktivitas prosedural atas nama profesionalitas. Mungkin juga anak-anak yang telah kehilangan semangatnya untuk bersekolah.

bersambung ….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.