Aku sudah terlalu bosan dengan kurikulum yang kini berganti-ganti. Aku juga bosan dengan berbagai teori kependidikan yang sering dikaji. Bahkan aku semakin bosan melihat sekolah-sekolah negeri yang kian membingungkan hari ini. Ini mungkin studi kasus yang kugeneralisir, jika memang ada yang tidak sesuai silahkan dikomentari dan diluruskan tulisan ini. Salah satunya yang kusoroti adalah masalah agama dan kebiasaan positif siswa.
Hari ini, kegiatan pendidikan terasa pragmatis sekali. Sekolah capek-capek hanya untuk mengejar target nilai UN dan masuk ke sekolah favorit. Saking pragmatisnya, kemudian ada istilah seleksi ditingkat sekolah dimana berlaku sekolah-sekolah yang dianggap favorit hanya memilih siswa-siswa pendaftar yang dikatakan “pintar” (dibuktikan dengan perolehan nilai ujian yang paling tinggi), sedangkan sekolah-sekolah yang dianggap tidak favorit dapat sisanya saja. Kalo sudah demikian, jadi buat apa sekolah. Bukankah tujuan sekolah itu membuat siswa belajar dan dengannya dia dapat mengaktualisasikan dirinya (dalam bahasa menterengnya membuat mereka belum cerdas menjadi lebih cerdas).
Pragmatisme kemudian merambah ke aspek yang lain, termasuk para gurunya yang kemudian lebih kerasan di sekolah elit dari pada pinggiran. Mengapa? Karena uang lain-lainnya banyak, berbeda sekali dengan sekolah di kawasan pinggiran. Di samping itu, siswa-siswanya sudah terbiasa berkompetisi sejak seleksi masuknya. Sehingga sudah pasti kebanyakan mereka akan menambah jam belajarnya di bimbel agar persaingan di kelas semakin seru. Jadi guru ngapain? Tukang ngetes.
Kemudian melihat realita banyaknya kasus yang melanda anak-anak muda hari ini semakin membuat miris saja. Siswa-siswa sekolah, khsusunya SMA sudah akrab dengan dunia hedonisme, pemerkosaan, dan narkoba. Terlebih di sekolah-sekolah negeri yang hari ini semakin membingungkan. Pendidikan agamayang diajarkan di sekolah negeri hanya 2 jam pelajaran saja. Itu pun sebatas kognitif saja.
Bagi siswa yang beragama Islam, ketika kemudian ada segolongan aktivis yang menawarkan kegiatan dakwah sekolah meliputi Rohis dan mentoring, buru-buru dicap sebagai kegiatan partai tertentu, padahal nyata-nyata kegiatan itu atau mungkin yang semacamnya terbukti ampuh untuk menekan angka kenakalan remaja karena mereka dibiasakan dengan lingkungan yang Islami dan berpikir kritis terhadap permasalahan lingkungan sekitarnya. Memang serba salah ketika sisi positif diabaikan hanya karena sentimen politik, tapi juga tidak memiliki solusi yang riil untuk membina generasi muda.
Kemudian pembelajaran-pembelajaran sains di lingkungan sekolah rupanya tak kalah hebat biasnya dengan pelajaran agama. Banyak yang pandai IPA, fisika, kimia, biologi tapi kemudian tetap saja membuang sampah sembarangan. Tetap saja boros energi saat dirumah. Tetap saja motor oriented ketika sebenarnya sudah tersedia transportasi umum yang memadai. Tetap saja gadget minded padahal hanya menghabiskan energy listrik dan pulsa.
Banyak pula pelajaran-pelajaran lain yang mengalami bias. Pelajaran kewarganegaraan dan sejarah seperti pengantar tidur yang nyaman. Karena guru sering mengajar dengan buku yang siswa sama-sama punya dan terkadang sudah sama-sama dibaca. Pelajaran muatan lokal seperti penyedap rasa kurikulum sehingga siswa justry semakin kehilangan kearifan lokalnya.
Hari ini pendidikan kita justru menjauhkan kita dari kebiasaan yang seharusnya tercipta dari proses pendidikan itu sendiri. Mungkin UN tidak menjadi momok yang semengerikan dahulu. Tapi hari ini siswa terbiasa belajar dalam sebuah sistem yang sangat instan. Inginnya cepat menjawab, dapat nilai tinggi tanpa melalui sebuah proses analisis dan melatih kepekaan mereka terhadap realita hidup. Jadilah makhluk-makhluk cerdas yang apatis terhadap kondisi bangsanya.
Saat ini aku mendapat kesempatan mengajar materi-materi khusus yang ku susun sendiri. Aku ingin mengembalikan model pendidikan berbasis kebiasaan positif. Mungkin hari ini kecil dampaknya, tetapi aku yakin ini akan dikenang hingga akhirnya mereka nanti besar dan menemui masa seusiaku untuk sadar dan menyadarkan yang lain. Soal ujian sains yang baik bisa jadi adalah pertanyaan tentang kebiasaan pribadinya dalam membuang sampah, kebiasaannya pergi ke sekolah, kebiasaannya ketika melihat atap genteng bocor, kebiasaannya ketika melihat instalasi listrik rusak dan sebagainya.
IPA bukan tentang apa yang kita hafal dan kita hitung. IPA adalah sikap yang semestinya hadir setelah kita sekolah bertahun-tahun, baik dalam hati kita yang semakin mengagumi Sang Pencipta atas keunikan ciptaan-Nya, dalam lisan kita untuk selalu berkata yang positif dari pada terlalu banyak berkata kotor, dan dalam aksi nyata kita untuk memberi solusi atas masalah yang dihadapi. Mari kita bangun pendidikan yang berorientasi kebiasaan positif, bukan pendidikan yang berorientasi nilai akhir.