Indonesia sudah merdeka lebih dari setengah abad lamanya. Berbagai rezim kekuasaan silih berganti memerintah negeri ini. Setiap pergantian rezim terjadi selalu ada maksud untuk memperbaiki negeri ini. Namun, setiap kali pemimpin baru memegang tampuk pemerintahan negeri ini, terlontar ungkapan sinis remaja, “loe lagi, loe lagi”. Ungkapan tersebut menunjukkan rasa bosan rakyat terhadap pemerintah yang meskipun berganti-ganti bahkan sekarang katanya sudah direformasi.
Apa yang salah? Tidak penting mencari apa dan siapa yang salah. Apa lagi mencari siapa yang paling benar. Yang terpenting untuk kita sadari bahwa semua proses yang panjang tersebut merupakan sebuah wahana pendidikan yang membentuk karakter masyarakat seperti saat ini. Baik rakyat maupun pemimpinnya, semua telah mengalami pendidikan secara kompleks dan menyeluruh. Masa transisi kepemimpinan yang mengerikan mulai sejak zaman penjajahan hingga era reformasi ternyata bukanlah wahana pendidikan yang baik bagi masyarakat Indonesia, sehingga memberi dampak yang kurang menggembirakan dengan lahirnya produk-produk manusia Indonesia yang semakin unik dan aneh seperti saat ini.
Melalui tulisan yang singkat ini, penulis mencoba mengetengahkan fenomena yang berkaitan dengan dunia pendidikan, khususnya yang berkaitan dengan pembentukan karakter bangsa. Masalah ini sangat penting untuk terus dikaji permasalahannya dan diselesaikan. Berkaitan dengan hal tersebut, ada permasalahan, tantangan atau mungkin lebih tepatnya visi besar yang ada dihadapan kita, civitas akademika UNS, yaitu UNS menuju World Class University (WCU). Khusus pada lingkup pendidikan, maka ada satu gagasan menarik yang diusulkan yaitu pentingnya membangun karakter pendidik berbasis Imtaq, Iptek, dan Kearifan Lokal dalam menghadapi berbagai tantangan global sekaligus menjadikan FKIP UNS sebagai lembaga yang memiliki ciri khas dalam pengembangan tenaga kependidikan. Ciri khas inilah yang akan menjadi daya tarik sekaligus daya saing bagi UNS ke depan khususnya FKIP dalam persaingan global. Balam hal ini, gagasan terkait tema tersebut ditinjau dari sisi mahasiswa sebagai pelaku proses pendidikan itu sendiri.
Pendidikan karakter sebagaimana dicanangkan oleh Presiden Republik Indonesia sejak 2 Mei 2010 diyakini merupakan solusi dalam rangka meningkatkan kualitas SDM Indonesia yang tengah terpuruk saat ini. Sekarang perihal yang menjadi pekerjaan rumah para pendidik adalah bagaimana mewujudkan pendidikan karakter tersebut. Berbagai perubahan kurikulum dan strategi mulai dilakukan untuk menghasilkan suatu rumusan pendidikan karakter yang sesuai dengan harapan. Namun, meskipun sudah hampir satu tahun rumusan yang diharapkan tak kunjung selesai dan boleh jadi hasilnya hanya berbentuk hitam di atas putih.
Sekarang yang diperlukan oleh masyarakat negeri ini adalah perbaikan dan perbaikan. Perbaikan kualitas SDM menjadi harga mati bagi kemajuan dan kesejahteraan Indonesia di masa depan di tengah paradoks yang marak saat ini mulai dari KKN, kekerasan, kebebasan yang melampaui batas dan berbagai perilaku-perilaku buruk lainnya. Sehingga pendidikan karakter merupakan keperluan mendesak untuk saat ini. Dan semua itu perlu untuk segera direalisasikan tanpa harus menunggu pakem dari pemerintah.
Lalu apa peran kita selaku mahasiswa yang berada di lingkungan kampus pengembang tenaga kependidikan? Sebagai mahasiswa FKIP UNS seharusnya kita memiliki kebanggaan besar terhadap almamater kita. Bukan hanya karena kampus kita memang tergolong kampus terbaik di negeri ini, tetapi juga karena kita berada di lingkungan masyarakat yang dianggap sangat beradab, yaitu kota Surakarta. Surakarta merupakan simbol kejayaan masyarakat Jawa di masa lalu dan masa kini bersama dengan Yogyakarta. Selain itu, Solo dikenal sebagai pusat gerakan di Indonesia yang salah satunya menandai kebangkitan umat Islam di masa pergerakan nasional. Dan yang terakhir, sebagai kampus yang tergolong elit di negeri ini, tentu saja FKIP saat ini sudah tersentuh dengan teknologi yang modern.
Maka dari itu, penulis mengajukan tiga kata kunci yang harus dipersiapkan oleh mahasiswa FKIP UNS untuk dikembangkan dan diintegrasikan dalam diri sebelum kelak diwisuda sebagai sarjana pendidikan. Kata kunci tersebut adalah Imtaq, Iptek, dan Kearifan Lokal. Ketiga kata kunci ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan untuk mengangkat harga diri bangsa Indonesia sekaligus mendongkrak UNS menuju World Class University.
Imtaq atau yang lebih dikenal dengan iman dan taqwa merupakan representasi ukuran spiritualitas seseorang dalam hidupnya. Kualitas iman dan taqwa ini dalam konteks sekarang dapat disebut sebagai tingkat religiusitas seseorang. Sebagai mahasiswa calon pendidik, imtaq menjadi syarat pertama yang harus dipenuhi sebelum syarat yang lainnya. Mengapa imtaq menjadi prioritas pertama? Karena hakikatnya Imtaq merupakan pondasi dari karakter yang akan terbentuk pada diri seseorang. Ukuran baik moral seseorang dapat dilihat dari kualitas iman dan taqwanya. Hal ini tidak dapat dilihat secara lahir saja, tetapi juga dapat dirasakan melalui akibat interaksi yang sering dilakukannya dengan orang lain. Maka dari itu, mahasiswa FKIP UNS sudah selayaknya menempatkan urusan ini pada peringkat wahid sambil mengejar prioritas-prioritas yang lain.
Realisasi nyata dari hal ini adalah dengan aktif dalam berbagai kegiatan pembinaan kepemudaan terutama yang berbasis nilai agama. Di UNS saat ini telah ada lembaga yang memfasilitasi pembinaan kepribadian muslim yang diakui oleh universitas, di samping ada unit kegiatan mahasiswa kerohanian. Maka partisipasi mahasiswa baik dalam kepengurusan maupun partisipan sangat penting karena manfaatnya akan kembali ke diri masing-masing dalam rangka membentuk pondasi manusia yang berkarakter.
Selanjutnya, Iptek atau yang sering kita kenal dengan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi adalah dasar untuk membentuk manusia profesional di bidangnya. Dalam arti luas, Iptek di sini dimaksudkan sebagai bidang ilmu yang sedang menjadi obyek pembelajaran mahasiswa baik eksak maupun sosial, baik murni maupun penerapannya. Sebagai mahasiswa FKIP, kita tidak hanya dituntut untuk dapat menguasai Iptek tetapi juga bagaimana menjelaskan kepada orang lain agar mengerti dan menguasai Iptek. Ini merupakan keistimewaan tersendiri bagi seorang mahasiswa FKIP. Bukan sekedar tahu tetapi juga mampu membuat orang lain tahu. Bukan sekedar dapat melakukan tetapi juga dapat membuat orang lain melakukan.
Adalah sangat naif, ketika mahasiswa FKIP tidak memiliki satu pun karya ilmiah di luar tugas kuliah yang diberikan oleh dosen. Dan lebih naif lagi ketika mahasiswa FKIP tidak mampu menyelesaikan PPL dengan hasil yang memuaskan. Dan yang paling naif adalah para mahasiswa tidak mau belajar bahasa Inggris atau bahasa asing. Bagaimana WCU akan terwujud kalau kultur berbahasa Inggris saja tidak ada? Apalagi ditambah ketika masih harus melobi dosen yang buku referensinya bahasa Inggris supaya membuat modul berbahasa Indonesia. Aneh bin ajaib!
Maka dari itu, aktif dalam berbagai kegiatan keilmiahan dan membuat karya ilmiah khususnya dalam pendidikan, baik tulisan, pemikiran, media, pengabdian masyarakat dan sebagainya merupakan konsekuensi yang harus dijalani setiap mahasiswa FKIP dalam rangka membuktikan bahwa mereka adalah mahasiswa FKIP sejati. Sebagai mahasiswa FKIP filosofi Iptek harus tertanam kuat di jiwa tiap-tiap calon pendidik. Saat ini jutaan siswa di negeri ini membutuhkan pendidik yang profesional dan berkarakter. Di tengah carut marutnya negeri ini, kehadiran figur pendidik seperti inilah yang sedang dinanti-nantikan untuk menjadi penyejuk hati.
Yang terakhir adalah Kearifan Lokal, inilah kunci agar nilai-nilai pendidikan dan berbagai kemajuan Iptek yang telah diserap di kampus dapat disampaikan dan diterima oleh masyarakat. Sebagai Wong Solo, atau mungkin lebih tepatnya mahasiswa yang dididik di lingkungan Kota Surakarta, seharusnya banyak nilai kearifan lokal yang dapat kita adopsi dan akomodasi (dalam hal ini penulis menekankan pada nilai-nilai yang ada, bukan tradisi yang dikembangkan oleh masyarakat). Nilai-nilai tersebut di antaranya kesantunan dan keramahan yang dimiliki oleh orang Jawa, khususnya Wong Solo. Atau bagi mahasiswa Jawa asli, berbahasa Jawa secara baik ditiap tingkatannya sangat penting untuk saat ini dalam rangka mengokohkan kekhasan kampus FKIP UNS. Dan masih banyak lagi nilai-nilai positif lain yang dapat digali dan diinternalisasikan.
Oleh karena itu, mencintai kearifan lokal tidak identik dengan kuno dan kolot. Tetapi itu justru akan menjadi nilai tawar FKIP UNS di mata dunia ketika kampus-kampus lain sibuk bermetamorfosa meninggalkan kekayaan sejati yang dimilikinya. Inilah kekayaan kita yang sebenarnya, pendidikan yang dilandasi oleh Imtaq, Iptek, dan Kearifan Lokal sebagai daya dukung utama di FKIP UNS menuju World Class University.
Sebagai ungkapan terakhir, ada sebuah nasihat dari Dr. Sutanto, DEA yang disampaikan dalam suatu seminar. Nasihat beliau kurang lebih sebagai berikut,
“Jika kita ingin bersaing dalam pembuatan robot, sampai kapan pun Indonesia tidak akan pernah dapat mengalahkan Jerman atau Jepang, jika kita ingin bersaing dalam bidang elektronika dan kimia kita tidak akan dapat mengalahkan Korea dan negeri-negeri di Eropa, tapi kita punya kearifan lokal dan sumber daya alam yang melimpah, semua itu khas, menarik bagi orang asing dan tidak dimiliki oleh mereka. Inilah kekayaan kita yang sesungguhnya jika kita mampu memanfaatkannya dengan sebaik-baiknya.”
Maka dari itu, World Class University sebenarnya bukan tujuan akhir dari kita memajukan UNS ini, khususnya di FKIP. Tetapi WCU merupakan indikator bahwa UNS telah memiliki kualitas yang tinggi dan berstandar Internasional karena memiliki keunggulan yang spesial dan mampu memberikan warna bagi perbaikan global. Itulah sesungguhnya World Class University yang seharusnya ada di benak pikiran kita semua.
(Artikel ini lolos 5 besar finalis Essay Commpetition LSP FKIP UNS 2012)