Setiap kali berbicara tentang sastra, pikiran kita menerawang kembali ke masa-masa Chairil Anwar ketika menuangkan ide-ide spektakulernya dalam rangkaian puisi-puisi indah atau ke masa Merari Siregar ketika menuliskan penderitaan hidup dalam Si Jamin dan Si Johan-nya atau mungkin yang selainnya. Begitulah bangunan pemikiran yang sudah tertanam dalam otak pelajar di negeri ini. Sastra adalah puisi, gurindam, balada, novel dan yang sejenisnya.

Namun demikian, akan sangat sempit jika sastra hanya berkutat pada seputar masalah di atas karena sebenarnya puisi, gurindam dan yang selainnya hanyalah produk dari sastra itu sendiri. Ada yang lebih luas dan lebih dalam untuk dibicarakan terkait sastra ini, yakni bagaimana melihat dunia dan mengubah dunia melalui pena. Sejarah mencatat bahwa berbagai perubahan di dunia ini terjadi ketika pena telah berbicara melalui tangan-tangan mulia para penyair, pujangga dan orang-orang alim yang ada di masa itu. Lalu apa kaitannya dengan sastra? Secara sederhana, penulis mengibaratkannya sebagai sebuah sistem dalam mempresentasikan pemikiran orang-orang di masa itu dalam bahasa terbaik. Maka tidak mengherankan ketika ada banyak sekali karya sastra yang tetap masyur dari masa ke masa.

Lihatlah bagaimana maha karya yang sangat tua Ramayana dan Bharatayuda masih menarik untuk dikaji, atau setumpuk roman karya Khalil Gibran yang begitu menginspirasi atau karya-karya lain yang masih banyak jumlahnya dan tersimpan rapi serta terus digali melaluiĀ  berbagai pengkajian. Hal itu menunjukkan bagaimana sastra itu dapat mewarnai kehidupan ini dan menawarkan perubahan-perubahan yang besar di tengah-tengah masyarakat.

Namun demikian, dalam tulisan yang singkat ini penulis cukup membatasi pada pembahasan sastra dalam dunia pendidikan. Lebih khusus lagi, penulis ingin mengungkap benang merah antara sastra dan pendidikan yang selama ini hanya melambai-melambai dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Padahal sastra amatlah luas dan mampu memberikan ruh baru dalam mengubah generasi Indonesia menjadi generasi yang berperadaban maju dan unggul. Dunia sastra adalah dunia yang memberikan cara pandang terindah dalam membaca kebesaran ayat-ayat kauniah-Nya, melihat realita dan menyenandungkan sebuah gerakan perubahan.

Realita pendidikan yang ada saat ini, sastra menjadi sesuatu yang seringkali terpinggirkan. Bahkan seolah-olah sastra hanyalah milik orang-orang linguistik, dalam hal ini adalah guru bahasa. Dampaknya adalah sedikit siswa yang tertarik dalam dunia sastra. Jangka panjangnya adalah terbentuknya bangunan pemikiran picik seperti ini yang justru dimulai dari dunia sekolah, tempat yang seharusnya meningkatkan kualitas kemanusiaan seseorang. Sampai-sampai banyak guru eksak yang skeptis terhadap sastra dan cenderung suka mempertentangkan sebagai penghambat dalam pelajaran-pelajaran mereka.

Demikianlah realita yang ada saat ini. Adalah tidak penting bagi kita menggerutu atas kenyataan yang ada. Yang lebih penting saat ini adalah bagaimana menunjukkan sastra sebagai salah satu akselerator perubahan masyarakat khususnya dalam dunia pendidikan. Baik dalam mendidik kepribadian sekaligus mendongkrak kecerdasan yang dimiliki oleh setiap orang. Dan ini telah dibuktikan oleh sastrawan-sastrawan kita di abad ini yang menurut penulis mampu membuka ruang geliat bagi dunia sastra untuk lebih memasyarakat.

Kita ambil contoh Habiburrahman el-Shirazy yang berhasil mengguncang Indonesia bahkan dunia ketika berhasil menerbitkan novel Ayat-Ayat Cintanya sebagai salah satu karya terpopuler di Indonesia pada abad ini. Isinya sederhana tetapi ternyata mampu memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perubahan masyarakat. Banyak sekali testimoni yang menunjukkan adanya perubahan positif perilaku masyarakat pascapeluncuran novel tersebut. Bahkan karya-karya beliau berikutnya begitu dielu-elukan sekaligus dinanti-nantikan.

Contoh lainnya adalah Andrea Hirata. Ekonom yang tulisan-tulisan ilmiah sering dijadikan referensi di Eropa ternyata juga mampu mengguncang masyarakat kita dengan memotivasi para pemuda dalam menjalani pendidikan mereka. Bahkan jika kita membaca novel Laskar Pelangi-nya, banyak hal yang tak terpikirkan di otak kita dapat tersaji secara apik melalui rangkaian deskripsi yang luar biasa dan memikat. Kemudian Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov pun tidak kalah serunya. Semua itu menjadi salah satu contoh bagaimana sastra berbicara untuk membawa angin perubahan bagi masyarakat menuju ke arah yang lebih baik.

Yang terpenting di sini adalah seharusnya sastra dapat dijadikan sebagai salah satu media atau mungkin sistem pengantar pendidikan di negeri ini yang kehalusan budinya mulai luntur. Di sadari atau tidak, pelajaran sastra (dalam hal ini Bahasa Indonesia) terkesan membosankan karena pendekatan yang digunakan kepada peserta didik belum mampu membangkitkan sense mereka. Apakah setiap orang dapat bertahan dengan bacaan-bacaan ilmiah yang bahasanya kaku dan membosankan? Apakah setiap orang harus memahami matematika dengan menyusun rumus-rumus paten dan sulit dihafal secara konvensional? Apakah setiap orang harus melihat fenomena alam melalui rangkaian teori fisika, kimia dan biologi yang ada dalam buku-buku karangan orang asing yang jelas beda cara pembahasaan mereka? Di sinilah ruang bagi sastra untuk memberikan jawaban.

Salah seorang pengajar berdedidkasi bagi pendidikan negeri ini, Munif Chatif, murid angkatan pertamanya Bobbie de Porter menyampaikan bahwa manusia dikaruniai oleh tuhan kecerdasan majemuk. Di antara kecerdasan itu adalah kecerdasan linguistik. Kecerdasan ini boleh jadi merupakan pondasi bagi seseorang untuk mengenal bahasa dan sastra secara lebih kuat meskipun anggapan ini belum tentu benar. Lebih lanjut, beliau menyampaikan bahwa pendidikan yang terbaik adalah pendidikan yang memanusiakan bukan mengatur dan mendoktrin, yaitu pendidikan yang memberikan ruang kepada setiap siswa untuk berkembang meng-upgrade kapasitas mereka sesuai dengan potensi yang dimiliki. Maka segala pendekatan yang dilakukan seorang guru hendaknya disesuaikan dengan kecenderungan kecerdasan anak tersebut.

Benang merah dari uraian Munif tersebut adalah bagaimana sastra dapat menjadi warna dalam meng-upgrade potensi peserta didik dalam menguasai pelajaran dan kecakapan hidup. Dengan sastra, dunia dapat dieksplorasi dengan cara pandang dan cara berpikir yang indah. Jika pelangi dapat diungkapkan dalam rangkaian puisi, cerpen atau lagu yang lebih dekat dengan dunia anak-anak, mengapa harus dipaksakan dengan rumus-rumus yang begitu sulit dan terkesan hiperbolik di mata dan pikiran mereka. Jika ekosistem dapat dideskripsikan dalam novel menarik yang panjangnya berjilid-jilid mengapa mereka harus dipaksa untuk menelan mentah-mentah setiap butir teorinya. Di sinilah sastra berbicara, membuka dunia dalam untaian keindahan dan kearifan.

Dan masih banyak ruang-ruang yang dapat dimasuki sastra untuk membuktikan eksistensi dirinya. Sastra di mata pendidikan adalah sebuah keindahan. Sebuah senjata untuk menembus ruang-ruang pikiran siswa yang konkrit untuk dibentuk menjadi ruang-ruang abstrak yang siap melihat, mencerna dan mempresentasikan kenyataan. Dengannya perubahan yang diharapkan akan segera terjadi. Perubahan besar dan mendasar mulai dari pola pikir dan cara pandangnya. Dengan sastra, dunia ini terasa indah, hidup ini akan sangat halus, lembut, dan penuh dengan keharmonisan.

(Artikel ini mendapat Juara I lomba Artikel Pekan Sastra Himprobsi 2011)

2 Comments

Tinggalkan Balasan

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.