Kemudian ada juga sebuah analisis yang berkaitan dengan politik etis Van Deventer yang salah satunya adalah pendidikan. Sehingga kaum priyayi yang mampu bisa kuliah di negeri Belanda. Jika menilik konteks sejarah waktu itu, golongan yang paling ditakuti belanda pasca berhasil dirusaknya sistem kesultanan-kesultanan yang berkuasa adalah kalangan pesantren, di samping juga golongan-golongan adat yang masih setia dengan tradisi mereka.
Pada waktu itu semua sudah mafhum bahwa poros Jawa-Mekah dan Sumatera-Mekah dan mungkin daerah lain juga yang bertaut ke Mekah adalah sebuah jalinan komunikasi yang sangat kokoh. Dan kalangan kyai dan para santri inilah yang kerap memobilisasi rakyat dengan seruan jihad untuk menggempur kedudukan Belanda ketika itu. Masih ingat dengan Pangeran Diponegoro kan? Ia adalah pangeran, tapi lihat fotonya? Tak ada jejaknya sama sekali bahwa ia adalah pangeran dan putera mahkota Sultan Hamengkubuwana III. Karena pakaian dari para pangeran keturunan Sri Sultan tidak seperti itu.
Maka bisa jadi, tawaran pendidikan ke negeri Belanda ini adalah salah satu skema baru yang dibalut dalam politik balas budi itu untuk mempertarungkan orang-orang terbaik bangsa kita nantinya. Poros Jawa-Amsterdam pun dibangun untuk membangkitkan perlawanan baru mendukung pemikiran kolonial jika sewaktu-waktu mereka hengkang dari bumi pertiwi ini. Demikian hasil analisis yang dikaji dalam diskusi kami.
Aku pun terhenyak dengan analisis ini. Apakah mungkin karena ini akhirnya peperangan kubu nasionalis sekuler dengan kubu Islamis akhirnya tetap subur pasca kemerdekaan. Ketiadaan titik temu dari mereka hingga akhirnya gaya kepemimpinan represif pun diterapkan oleh golongan-golongan yang berhasil memegan kendali militernya. Ah, aku pun berkesimpulan bahwa titik konflik bangsa ini itu bukan pada masalah mayoritas kaum muslimin ingin Indonesia berlaku syariat Islam seperti Pancasila versi piagam Jakarta atau kaum sekuler ingin negara ini Pancasila seperi yang ada saat ini. Titik konflik yang dipupuk melalui algoritma cerdas ini adalah hilangnya sikap lapang dada masing-masing untuk mempelajari kembali kesepakatan yang pernah mereka bangun bersama dalam piagam Jakarta waktu itu yang notabene dihadiri oleh perwakilan elemen bangsa baik yang muslim maupun nonmuslim.
Maka ketika sila pertama berbunyi Ketuhanan Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-Pemeluknya berubah menjadi Ketuhanan yang Maha Esa sebenarnya itu bagian dari pemicunya saja. Esensi yang pertama seolah-olah mengesampingkan pemeluk agama lain, padahal jika sila itu ditegakkan, maka kedamaian bangsa ini boleh jadi akan tercapai seperti di Negara Madinah yang masyarakat internasional mengakui bahwa kepemimpinan Muhammad itu sangat efektif dalam menata masyarakatnya.
Penegakan sila pertama itu memberi jaminan kuat kepada negara yang mayoritas muslim ini untuk mengatur umat Islam dengan penerapan syariat Islam yang tegas, bukan seperti depag saat ini yang getol ngurusi Haji saja (soalnya uangnya berlimpah) atau MUI yang sangat memprihatinkan karena fatwanya ditolak mentah-mentah oleh orang yang beragama Islam sendiri.
Saat ini publik cenderung diarahkan berpikir negatif tentang syariat Islam dengan potret negara Arab yang hobi konflik atau melakukan pelecehan seksual kepada TKW kita. Ya, itu kultur mereka yang memang kita tahu bangsa Arab itu hidup di kondisi panas di tengah padang pasir sehingga turun temurun nuansa mereka panas dan mudah perang. Tapi ketika mau jujur membaca sejarah Islam ketika tumbuh di sana, maka sikap barbar itu dikendalikan oleh sebuah sistem hidup yang terhormat dan teratur.
Kisah peperangan menaklukkan bangsa Arab, merebut kekaisaran Yaman, kekaisaran Persia, kekaisaran Romawi Timur memang menjadi kisah heroik, tapi adakah kisah pembantaian terhadap tawanan perang di sana, buktikan kalau ada? Padahal dulu sebelum Muhammad terlahir, dengan mudahnya bangsa itu berperang lantaran ejekan biasa antar pemudanya, saling bunuh-membunuh, membantai dan memperkosa para wanitanya. Mengerikan bukan?
Maka pada imajinasiku, ketika sila pertama itu tegak, jelas bukan perang yang akan dikobarkan di Indonesia, karena pemberontakan yang dulu terjadi itu justru karena daerah-daerah yang menginginkan payung syariat tidak dikabulkan oleh pemerintah, seperti Aceh sehingga sempat menjadi daerah operasi militer bertahun-tahun dan konfliknya tetap berdarah hingga kini. Yang ditegakkan pertama kali adalah zakat dan pemerataan kemakmuran.
Mengapa? Karena pembicaraan masalah syahadat, shalat, dan puasa pemerintah bisa mengembalikan fungsi pesantren dan madrasah diniyah yang telah dibangun para ulama sejak masa penjajahan dahulu. Zakat harta yang 2,5 persen dari harta masyarakat jelas akan menjadi pendapatan negara yang sangat besar karena sifatnya wajib bagi individu kaum muslimin, bukan seperti sekarang yang sifatnya pembebanan pajak yang itu lebih dititikberatkan pada perusahaan. Dan kebanyakan perusahaan juga cerdas dengan menaikkan utangnya agar beban pajaknya kecil.
Dalam Islam, Rasulullah tidak pernah mengajarkan berhutang. Bahkan berbisnis pun tidak pernah dikenalkan istilah hutang. Yang ada adalah berinvestasi yang itu tidak diartikan hutang. Artinya jika pelaku bisnis rugi maka investornya juga siap menanggung kerugian. Maka istilah bank-bank syariah saat ini kalau mau dibedah ya baru proses menuju ekonomi syariah, belum syariah dong. Wong masih pakai sistem-sistem jaminan segala kalau memberi hutang.
Lebih lanjut, apalagi ketika negara menerapkan masa kepemimpinan Umar bin Khattab dalam mengelola aset negara. Individu yang menumpuk kekayaan seperti tanah dan bangunan akan disita oleh negara jika tidak dimanfaatkan untuk bisnis yang mendatangkan lapangan kerja atau aktivitas sosial. Dan sudah pasti siapa yang mau numpuk perhiasan dan tabungan yang banyak, wong tiap tahun akan kena zakat 2,5 persen. Maka dengan adanya sistem ini tradisi sedekah bagi umat Islam sendiri sudah pasti akan berjalan dengan baik. Tidak seperti sekarang di mana orang enggan berzakat sehingga banyak rakyat miskin bertebaran lantaran pemerintahnya juga korup sehingga uang pembangunan tidak dapat dirasakan rakyat.
Untuk masalah haji, tidak perlu di bahas. Karena hari ini sudah ditunaikan oleh depag. Dalam bahasa cibiranku, ya jelas mau ngurusi lah. Wong uangnya banyak dan berlimpah. Apalagi tabungan haji para jamaah yang mau ke Mekah, didepositokan udah bisa bikin kaya para pejabatnya tiap bulan.
Lantas bagaimana dengan kaum non muslim yang dipandang minoritas? Esensi penegakan sila pertama versi piagam Jakarta tidak kemudian mengesampingkan urusan mereka. Justru dengan adanya penegakan syariat bagi kaum muslimin, maka pemberlakuan bagi kaum non muslim bukan lagi pajak negara. Jika kaum muslimin membayar zakat, kaum non muslim membayar jizyah sebagai jaminan bahwa negara akan melindungi mereka, darah mereka dilindungi seperti darah kaum muslimin. Dalam hal ini kepemimpinan agama akan dijamin oleh negara karena seperti yang telah dicontohkan para penguasa kaum muslimin, begitu mereka menguasai wilayah taklukan, maka tokoh yang paling berpengaruh dalam agama itu akan dilantik sebagai pemimpin tertinggi bagi kaumnya. Dan memiliki hak untuk mengelola umat masing-masing.
sip, sepakat mas. kita satu madzhab kayake haha
Sesama penyuka tulisan dan penyukan literasi bakal banyak punya kesamaan