Tapi sudahlah, ini hanya imajinasiku. Ketika perdebatan panjang Soekarno dan kaum nasionalis dengan Hamka, Natsir dan kaum Islamis belum selesai, muncul komunis yang kemudian menawarkan heroisme pengentasan kemiskinan yang akhirnya secara teknis terlihat sebagai pembantaian berdarah. Militer yang terlanjur sekuler akhirnya justru menjadi mesin pembunuh setiap generasi yang ada di tanah air ini. Padahal mereka adalah para cendikia bangsa, yang sebenarnya wajar ketika saling memberi masukan. Dan akhirnya setelah kematian para pendiri bangsa itu, kita kini merintih karena telah kehilangan para negarawan itu.
Kita tidak perlu menyalahkan Soekarno yang kemudian memenjarakan Natsir dan membubarkan Masyumi. Atau sebaliknya kita tidak perlu bersedih atas perjuangan yang hari ini seolah-olah kandas. Biarlah negara ini berasaskan Pancasila, tapi ada hal yang lebih penting untuk ditegakkan. Kesadaran umat Islam Indonesia ini untuk bersatu lagi seperti saat melawan penjajahan dahulu. Jika dulu musuhnya berwujud penindas dan para penguasa yang menjilat Belanda, kini musuhnya adalah kebodohan dan kemiskinan.
Kebodohan mengakibatkan banyaknya aliran sesat yang menggerogoti iman kaum muslimin sehingga muncul golongan-golongan aneh seperti kaum Liberal, Ahmadiyah, Syiah dan yang aneh-aneh lainnya. Dan ini berpotensi pada konflik yang tidak berujung karena pemerintah juga pasti bingung melerai. Karena membela umas Islam yang mengikuti sunnah dianggap pilih kasih padahal mereka benar, meskipun caranya merusak lantaran yang sesat-sesat tidak direspon oleh pemerintah. Pemerintah juga tidak mungkin dong membubarkan aliran-aliran sesat itu selama suara yang mendukung tidak bulat. Bagaimana didukung, wong rakyat juga tidak pada tahu mana yang benar mana yang salah, kan bodoh. Inilah masalahnya, kebodohan yang dialami umat Islam itu mengerikan dampatknya.
Kemiskinan mengakibatkan potensi berbagai kejahatan. Hal ini diperparah karena pemimpin-pemimpin bangsa saat ini mungkin mewarisi darah para penjilat di masa Belanda. Memang sistem politik itu ya begitu, penuh intrik dan permainan kotor. Tapi setiap zaman aku masih percaya bahwa masih banyak juga politisi yang baik. Sayangnya kita telah kehilangan sosok-sosok negarawan yang bisa memimpin. Media telah membunuh mereka dan mengubur nama mereka dalam-dalam. Karena mereka pasti tidak menguntungkan media ke depannya (karena kalau negara makmur beritanya baik-baik, dan rakyat yang baik-baik jelas tidak banyak tertarik lihat hiburan terus menerus lah, mendingan kerja keras). Pemimpin yang rusak, nah itulah yang menarik, karena akan banyak kasus yang bsia diliput sebagai sumber pemasukan dan kesejahteraan ke depan, terutama yang masuk di kantong para pemilik medianya.
Pertarungan antara kubu Islamis dan Sekuler yang telah berlalu kini mungkin terkubur kisahnya. Mereka sama-sama memperjuangkan bangsa ini dengan skema mereka sendiri. Jika tradisi ideologis mereka dilanjutkan dengan sehat oleh masing-masing generasinya mungkin parlemen kita tidak akan jadi toko mewah seperti hari ini, menjual aset dan kekayaan bangsa. Senayan hari ini mungkin sepi dari para pembeli asing karena tidak ada yang sedang dijual ketika para pemimpinnya adalah para negarawan. Boro-boro dijual, wong dipakai buat makan sendiri saja bisa kok. Apalagi dikasihkan cuma-cuma.
Hari ini aku tidak terlalu tertarik lagi dengan pembicaraan-pembicaraan yang berbau politik itu. Tak heran jika orang-orang hari ini memilih mengikuti perkataan Soe Hook Gie, seorang aktivis pecinta alam yang telah meninggal di waktu muda. Salah seorang cendikia yang mewariskan pemikiran ideal untuk konsep negarawan yang tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu. Hanya saja, aku lebih ingin berbaik sangka padanya, bahwa dia kecewa dengan politik saat itu lantaran dia hanya melihat apa yang terlihat di depan matanya dari tingkah laku teman-temannya yang dulu getol bicara perbaikan bangsa namun akhirnya menyerah di tangan harta dan kekuasaan. Dia hanya kecewa, jika dia hidup masih lama mungkin dia akan kembali berkata, politik itu tetap penting dalam kepemimpinan, tapi tidak seperti permainan mereka.
Partai politik pun sekarang bukan lagi tempat mengkader pemimpin. Mungkin masih ada partai yang menjalankan proses kaderisasi itu. Semoga jika masih ada, gerakannya serius untuk membentuk negarawan, bukan pelanjut tradisi VOC yang gemar melakukan KKN. Publik yang kecewa hari ini mungkin sulit disembuhkan lukanya. Karena kekecewaan kepemimpinan itu akan sangat berdampak pada hilangnya wibawa pemimpin dan dicabutnya dukungan masyarakat pada para pemimpinnya. Jika angka golput masyarakat 2014 meningkat, sebaiknya tidak usah banyak komentar. Memang kita belum bisa menyediakan kader yang bisa memimpin rakyat dengan baik, itu lebih bijaksana dan mengakui kelemahan dengan lapang dada.
Media yang seyogyanya menjadi ruang informasi yang adil bagi publik dan sarana pembangun opini untuk mengajak publik berkiprah untuk bangsa saat ini menjadi sarana kampanye dan tidak independen lagi. Wajar, karena negara membiarkan media itu hidup dalam genggaman orang lain. Sama-sama buruknya, mending tidak ada media informasi sekalian. Tapi itu mimpi, karena kemajuan teknologi adalah keniscayaan. Percaya media, ha ha ha, goblok nanti pemikirannya. Pusing diombang-ambing, puyeng digoyang-goyang.
Memang cerdas sekali algoritma super rumit yang dihadiahkan untuk bangsa ini. Kita tak pernah tahu siapa yang telah menyusunnya. Ini algoritma yang harus diselesaikan oleh bangsa ini jika ingin menghasilkan sebuah hasil akhir, kemakmuran dan kesejahteraan. Tak ada yang tidak bisa selagi itu masuk akal, namun memang tidak semudah membalikkan tangan. Negeri yang terlanjur di obrak-abrik ini butuh digarap bersama-sama dengan lapang dada dan kreativitas nyata. Semoga Allah mengurangi jumlah koruptor yang ada dengan mewafatkannya atau mengilhami mereka agar segara mengubah kebiasaan buruknya. Kita wajib berharap positif sambil terus memohon ampun agar negeri ini diberikan kebaikan.
ayo mas bikin buku tentang sadar politik
Yuk