Anda tidak akan pernah menjadi agen perubahan selagi Anda tidak berani menentang arus comberan/ kebusukan yang telah mengakar dalam sebuah sistem” (Indrawan Yepe)
Sore tadi rasanya begitu bersemangat mendengar wejangan dari sang Suhu setelah mendengarkan curhatan dari rekan kami yang tengah menghadapi berbagai ujian di sekolah yang tengah menjadi proyek penyelematan sekaligus tempat belajar kamil. Pengurus yayasan yang lama sepertinya tak rela sekolah itu diambil alih oleh pengurus baru. Jika dilihat dari inti permasalahannya adalah, sekolah yang terancam ditutup ini memiliki potensi untuk bangkit menjadi raksasa lagi di masa depan, namun mereka lebih suka berpangku tangan dan mengerat kekayaan di balik bangunan pendidikan yang pernah gagah itu.
Singkatnya, temanku yang sudah menjadi guru itu harus menjalani berbagai shockterapi selama di sekolah karena tingkah para guru lamanya yang memang membuatnya gelisah. Temanku merasa gelisah dengan tingkah laku mereka yang tidak bersahabat, gemas dan ingin mereka diberhentikan. Namun dengan bijak, Pak Yepe meminta kami sejenak mendengarkan lagunya Maidany, Merasa Sebelum Terasa. Dan beliau berkata, bahwa guru-guru itu tengah galau dan lebih galau dari pada kita, maka pesan lagu tersebut hendaknya menjadi cambuk bagi kita untuk menjadi bagian dari solusi, bukan penambah masalah.Aku kemudian berpikir, ternyata pendidikan hari ini telah menjadi bagian dari sebuah ambisi kekuasaan. Yah, pendidikan bukan lagi menjadi sebuah pusat-pusat pembelajaran yang berorientasi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi ladang untuk mengokohkan jabatan dan tempat orang-orang gelisah. Ini hanya sebuah sekolah dasar yang dapat kami garap, belum lagi masih banyak sekolah yang mungkin bernasib sama atau bahkan lebih buruk. Haruskah siswa menjadi korban sebuah permainan yang lebih kanak-kanak dari pada anak-anak. Jika yang membaca tulisan ini adalah mahasiswa, maka tidak selayaknya Anda kemudian justru cuek atau menganggap remeh. Tengok SD-SD yang pernah membesarkan kita hingga hari ini, masihkah tempat itu menjadi tempat pembenihan generasi bangsa, minimal seperti kita dulu, atau hanya ajang pencarian sumber kehidupan yang mengabaikan rasa kemanusiaan untuk mengobati dahaga ilmu dari adik-adik kita yang polos itu.
Jangan berkata menjadi aktivis jika hari ini masih sok sibuk dengan urusan kampus yang semakin tidak bertemu ujungnya itu. Ia akan selesai jika kita mau mengalah dan melihat masalah ini dengan lebih luas dan menyadari bahwa kemampuan kontribusi kita lebih besar dari ruang kuliah kita hari ini. Mari kita pikirkan itu, karena ini berkaitan dengan pertanggungjawaban kita kepada Allah yang mengaruniai potensi kita dan pertanggungjawaban kita kepada negara dan rakyat yang telah mensubsidi kita sehingga bisa kuliah. Tidak main-main.