Teringat ketika salah seorang mubaligh dalam shalat tarawih bercerita tentang pahitnya kehidupan 20 tahun silam ketika masyarakat hanya makan singkong, yang dengan bangganya ia sebut sebagai “roti sumbu” spesial. Kemudian ingatan pun terus melayang hingga sampai pada cerita dosen di kampusku yang lulusan Perancis justru ingin membuat desa wisata yang mempertahankan nilai-nilai dan keaslian daerah Karanganyar, Jawa Tengah. Akhirnya ada hal terbetik tentang bagaimana memajukan Indonesia.
Kembali ke masalah “roti sumbu”, sebenarnya kata itu mengisyaratkan bagaimana bangsa kita pernah mandiri dengan pangan yang tersedia di daerah mereka masing-masing jika kita mau sedikit merenung dengan paradigma kaum pribumi. Apakah harus selalu beras? Bukankah memaksakan beras berakibat pada impor beras. Dan itu artinya ada satu potensi kita yang terabaikan yaitu kemandirian pangan. Apakah singkong tidak bergizi seperti nasi? Ternyata tidak, bahkan DR. Minarto, MPS, Direktur Bina Gizi Masyarakat Kementerian Kesehatan menyatakan bahwa kandungan gizi singkong lebih banyak.
Berbicara masalah “roti sumbu”, maka sesungguhnya kita sedang dihadapkan pada sekian sistem yang sengaja diciptakan untuk menghindari peningakatan kesejahteraan masyarakat dan nilai kualitas produk lokal. Apakah dengan tidak mengkonsumsi nasi, lantas standar kelayakan hidup masyarakat kemudian dikatakan rendah? Tentu tidak. Namun sekarang paradigma masyarakat telah mengalami pergeseran dimana rasa gengsi semakin menjangkiti sebagian besar bangsa ini sehingga untuk masalah makan saja harus selalu memilih nasi, meskipun itu impor. Lalu bagaimanakah nasib para petani kita?
Memang singkong mungkin dikatakan kurang bermartabat. Tapi bukankah kita bisa menjadikannya lebih terhormat dengan pengemasan sendiri dan penamaan yang lebih kreatif untuk mengundang cinta masyarakat kembali kepada alamnya dan menjaga kekayaan alamnya. Kemandirian untuk hidup, itu adalah komitmen nyata sebagai bukti rasa cinta tanah air kita. Hanya masalah singkong, tapi dia dapat menjadi indikator apakah kita masih percaya bahwa modal yang kita miliki bisa membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukannya.
Mandiri, itulah modal utama untuk membawa bangsa ini maju. Dengan sikap mandiri, maka akan menuntut inovasi dan sikap cinta produk sendiri. Dengan sikap mandiri akan terbiasa menjadi bangsa yang kuat dan tahan banting dari tekanan luar. Buat apa kita tetap berbangga dengan produk asing, sementara kita menyaksikan sekian tanah kita dikuasi cuma-cuma oleh sebuah kontrak yang tidak fair antara pengusaha serakah dengan pejabat yang korup. Sumber daya alamnya dikeruk, diproduksi di luar negeri dan kembali ke negeri ini sebagai barang mahal yang dilabeli kata “keren” sehingga menaikkan gengsi siapa pun yang mengkonsumsinya. Seperti inikah sikap bangsa yang mengaku merdeka sejak tahun 1945? Mobil dan sepeda motor berserakan, adakah itu karena kemandirian kita. Adalah sangat naïf dan paradoksal.
Sebentar lagi kita akan memasuki bulan Agustus dan memperingati hari kemerdekaan. Mari kita besumpah untuk menjadi bangsa mandiri, yang percaya bahwa kita bisa hidup dan makan meski hanya dengan “roti sumbu” alias singkong, asalkan tidak impor beras lagi. Percaya bahwa kekuatan ekonomi kita akan kokoh dari kerja keras kita dan tidak ketergantungan dengan investasi asing. Kita punya SDA melimpah, SDM cerdas berlimpah. Dengan memakan “roti sumbu”, mari kembalikan energi bangsa yang telah hilang ini. Kata kuncinya, percaya bahwa kita bisa, berkreasi dan mandiri untuk membangun Indonesia. Jayalah Indonesiaku.