Membaca berita di Kompas hari Rabu (25/07/2012) tentang mahalnya harga kedelai menjadi sebuah peringatan dini bagi diri penulis. Bagaimana tidak, kedelai yang merupakan bahan baku utama tahu tempe, lauk segala kalangan masyarakat Indonesia harus batal di produksi selama beberapa hari di bulan Ramadhan karena para produsen mogok membuatnya. Kenaikan harga kedelai yang tidak berhenti selama beberapa hari terakhir membuat para produsen berhenti berproduksi karena modal biaya produksinya semakin meningkat dari waktu ke waktu, namun menadapat tekanan dari konsumen yang menginginkan harga tahu tempe stabil.

Sepertinya ada yang salah dengan dengan sistem mengingat Indonesia yang memiliki lahan pertanian cukup luas dan memiliki musim kemarau yang relatif baik untuk bertanam kedelai, khususnya di kawasan sawah tadah hujan yang minim irigasi. Selain itu pula, balai litbang deptan RI sudah mengoleksi sekian varietas unggul karya anak negeri. Dan yang lebih aneh lagi, ternyata selama ini kebutuhan kedelai yang diproduksi menjadi tahu tempe hampir 60 %-nya impor, demikian kata Menteri Perdaganan RI, Gita Wirjawan (inilah.com). Maka pantas saja, ketika terjadi kekacauan di pasar impor oleh para pemasok kedelai, maka masyarakat kita ikut menanggung pula akibatnya.

Seharusnya hal seperti ini tidak perlu terjadi kalau pemerintah lebih serius memberi perhatian kepada sektor pertanian di Indonesia. Betapa ini merupakan sebuah paradoks, ketika lahan kita yang subur dan luas, tidak dapat menghasilkan kedelai yang banyak, padahal kita juga memiliki koleksi varietas unggul yang tidak kalah bersaing dengan kedelai impor. Produsen lokal sudah mengalami ketergantungan bahan baku dari asing. Di mana kemandirian bangsa kita? Sudah sebegitu parahkah ketergantungan kita sehingga harus mogok produksi ketika harga kedelai melonjak. Lalu dimana peran pemerintah?

Menyoal Pendidikan

Sepertinya terlalu jauh jika masalah harga kedelai mahal dibawa ke ranah pendidikan. Tapi tidak ada salahnya kita mempersoalkan masalah kepedulian generasi muda terhadap pertanian Indonesia. Dan itu berarti kembali ke kawah candra dimuka para pemuda, yaitu pendidikan. Disadari atau tidak, pendidikan saat ini telah terbawa pada iklim pragmatis dan miskin karakter. Bahkan sampai ada yang berpendapat bahwa kebanyakan sekolah negeri sekarang menjadi tempat efektif untuk membunuh karakter siswa. Karakter apa? Khusunya karakter jujur dan tidak egois. Iming-iming kerja yang bergaji tinggi serta persepsi rendah kepada para petani membuat mayoritas para pemuda memilih bekerja di sektor industry dan sektor non pertanian. Menurut BPS pada November 2011, tenaga kerja di sektor pertanian mengalami penurunan 3,1juta orang selama 6 bulan terakhir. Lantas siapa yang kemudian akan meneruskan para petani di desa yang sekarang sudah tua lagi berpengetahuan rendah.

Ini tentunya adalah masalah serius bagi pendidikan kita? Bagaimana tidak, bukankah keberadaan ilmuwan dan ahli bidang pertanian harus didukung oleh tenaga terampil bidang pertaniannya. Hasil riset benih kedelai varietas unggul tentu harus diaplikasikan oleh tangan-tangan terampil yang berpengalaman serta dapat mengerti sistem yang lebih kompleks. Siapa yang akan menjadi perintis bagaimana bertanam kedelai yang benar dan produkit? Petani kita saat ini belum memadai untuk mengerti masalah yang rumit dengan berbagai cara bertanam kedelai yang lebih produktif. Mereka memilih bertanam menurut tradisi dan warisan leluhurnya. Akibatnya hasil panennya pun tidak maksimal, ditambah lagi dengan tidak tanggung jawabnya pemerintah terhadap harga jual kedelai petani yang tidak sesuai dengan jerih payah mereka. Seolah dibiarkan, hingga akhirnya petani memilih menyerah dan bercocok tanam yang lain.

Jika tahu petani yang sekarang masih belum mampu memproduksi dan mengolah tanah secara maksimal, maka seharusnya pemerintah serius memperhatikan sisi pendidikan generasi sekarang. Ploting calon-calon insinyur dan tenaga terampil bidang pertanian harus direncanakan sejak masa pendidikan agar masa depan pertanian Indonesia lebih cerah. Perencanaan pendidikan harus diperbaiki dengan melihat sektor-sektor pembangunan nasional, sehingga ke depan tersedia generasi yang memadai untuk mengawal pembangunan di tiap sektor, bukan semuanya ingin jadi politisi atau orang kantoran. Boleh jadi pendidikan kita mengalami kegagalan dalam prosesnya. Pendidikan yang hanya berorientasi pada penguasaan kompetensi secara disipliner tanpa melihat sisi interdisiplinernya membuat kita banyak mencetak orang-orang pintar namun tidak mengetahui konteks yang tepat dalam kontribusi mereka. Kalau mereka tidak dimanfaatkan karena ketidaktahuan mereka, ya mereka akan memanfaatkan segala hal disekitarnya untuk menggapai kesuksesan pribadi.

Contoh nyatanya kembali pada masalah pertanian. Sejak SD hingga SMP, semua siswa tentu mendapatkan pelajaran tentang ilmu alam dan kewarganegaraan. Asumsinya berarti bangsa kita yang sekarang relatif sudah banyak yang berpendidikan seharusnya sudah banyak mengenal permasalahan pertanian dan bagaimana cinta tanah air. Namun, apa yang terjadi sekarang rasanya api jauh dari panggang. Orang-orang yang katanya pintar hanya pintar beretorika dan miskin langkah untuk menuntaskan masalah dan berpihak kepada rakyat kecil, khusunya kaum petani. Itu mengindikasikan bahwa pendidikan di negeri ini belum berhasil mencetak manusia-manusia yang setia secara kolektif ternadap bangsanya. Masalah-masalah pertanian seolah terabaikan, padahal itu adalah masalah yang menguasai hajat hidup orang banyak di negeri ini. Jika untuk kedelai saja hari ini bangsa kita sudah tidak mandiri, bagaimana nasib pangan bangsa Indonesia untuk 10 tahun ke depan? Akankah sistem pendidikan kita yang gagal ini masih dipertahankan? Ubah segera, atau bangsa ini akan kelaparan di negeri sendiri. Dan perbaikan pendidikan adalah salah satu kunci menuju pertanian Indonesia yang maju dan berkemandirian pangan. 

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.