Hari ini aku mendengarkan obrolan pasangan muda yang nyentrik, Aa Canun dan Teh Fufu. Kesampaian juga setelah beberapa waktu lalu hanya sering dengar namanya disebut-sebut atau apa deh seputar masalah nikah. Sore ini terjawab bagaimana Aa Canun yang nama aslinya Ikhsanun Kamil memilih tidak menjadi dokter yang bergelar dr., tetapi mengambil jalan menjadi dokter cinta. Cieee. Begitu pula isterinya Teh Fufu yang nama aslinya Foezi Citra Cuaca Elmart (widih aneh dan nyentrik banget namanya).

Pasangan muda ini hadir dalam obrolan seputar dunia muda yang digelar oleh MQ FM Bandung. Ketebak kan, aku mendengarkannya lewat streaming sambil membereskan esai yang akan kukirim ke panitia lomba di negeri kincir. Sambil berharap besok bisa ke negeri kincir itu, aku pun menikmati obrolan renyah mereka tentang seputar persiapan pernikahan. Wow …… mulai deh!

Nah, dari percakapan yang sangat menarik itu semakin banyak khazanah yang kuterima tentang sebuah pernikahan. Disampain adanya persiapan ternyata menikah itu harus diwujudkan dalam perasaan hati kita yang sesungguhnya bahwa kita butuh menikah. Selama hal itu belum muncul dalam benak perasaan terdalam kita maka pasti akan ada masalah ketika dipaksakan menikah. Rasa untuk butuh menikah salah satunya tumbuh dengan proses belajar dan persiapan yang benar, bukan banyak mengetes lawan jenis satu per satu. Nah … lo

Pada intinya, pernikahan yang barokah itu adalah ketika kedua calon yang akan menikah itu sibuk untuk memantaskan diri sebagai suami dan istri ke depannya. Tanpa harus janjian dan saling menanyakan “sudah“ sampai mana. Jaminannya adalah bahwa laki-laki yang baik untuk wanita yang baik. Laki-laki yang buruk untuk perempuan yang buruk, itu sudah Allah sampaikan dalam al-Quran. Percaya nggak? Aku percaya.

Makanya dalam suatu kondisi atau terkadang ada yang memahami sak klek bahwa menikah itu melalui proposal, jalur murabbi, ustadz dll. Itu adalah sarana bagaimana kita menjemput jodoh (bukan mencari jodoh) sesuai dengan spesifikasi kita. Setiap zaman pun ada kecerdasan yang mesti di asah dari naluri setiap ikhwan yang akan menikah.

Kalau dahulu, kata salah satu ustadz muda favoritku, orang mau nikah lebih gampang katanya. Suatu ketika seorang teman ayah sang ustadz tadi tengah berada di sebuah kereta waktu dia bersin, lalu ada wanita yang mendoakannya yarhamukallah. Seketika itu juga dia menanyakan alamat rumah wanita itu dan dikesempatan berikutnya dia melamarnya. Wow, iyalah masa-masa tahun 70-80-an jelas adab Islami itu menjadi sesuatu yang tabu. Kalo ada satu pasti jadi rebutan.

Berbeda lagi dengan hari ini yang semuanya katanya serba klise karena banyaknya penokohan dan pencitraan. Facebook, twitter, dan berbagai sarananya bisa mengubah sisi lain seseorang menjadi orang yang lain lagi. Ah, kalo yang hari ini memang lebih rumit, tapi setidaknya jadi seorang ikhwan kudu mampu menyusun kata-kata kunci untuk bisa dijadikan pilihan dalam memutuskan pendamping hidupnya nanti. Ada sisi yang tidak akan pernah berubah dari setiap wanita shalihah meskipun telah melintasi zaman, dan itu harus terus digali di masa bujang ini sambil terus memantaskan diri (kata A Canun dan Teh Fufu).

Saatnya menentukan pilihan. Mungkin bukan nama, tapi menjadi seperti apakah kita dan seperti apakah yang akan menjadi teman kita. Terima kasih Aa Canun dan Teh Fufu atas inspirasinya sore ini, karenanya ingatan-ingatanku yang lain pun terpanggil sambil menunggu buka puasa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.