Sore ini aku diminta berbagi kisah dengan adik-adik di salah satu TPA yang masjidnya pernah kukunjungi untuk sebuah kegiatan malam pasukan aktivis kampus. Mungkin ini reuni juga pada teman lama yang dulu sering kuajak ribut (mungkin juga sering kusakiti) selama bersama di sebuah amanah.
Rasanya berbeda sekali menghadapi para veteran TPQ (mereka udah berhenti ikut Taman Pendidikan al-Quran gara-gara sudah masuk SMP). Jika di dusunku anak-anaknya masih lebih sopan dan mudah di atur. Tapi di sini, wow, anak-anak 12 tahun di pinggiran kota tumbuh dalam pendekatan barbar meski sebenarnya hal itu tak lepas dari kerasnya kehidupan kota dan parahnya pergaulan remaja hari ini.
Aku sejujurnya bingung mau berbagi kisah apa jika temanya seputar kebanggaan menjadi seorang muslim. Aku merasa belum mampu memasuki frekuensi mereka. Padahal kata master Indrawan Yepe, menjadi pembicara itu syarat utamanya memasuki domain frekuensi pemikiran mereka sebelum yang lainnya. Yah, akhirnya bismillah kubagikan beberapa cerita dengan humor dan lawak yang cukup tinggi agar mereka tertarik memperhatikan.
Dalam kondisi tertentu suaraku pun tetap harus bersaing dengan suara segelintir mereka yang ramai. Ah, inilah potret anak-anak muda sekarang. Miris? TPQ sepertinya semakin jauh dari “keterpaksaan” waktu didirikannya. TPQ hadir sebagai keterpaksaan karena banyak orang tua (produk masa lalu) yang belum mampu menuntaskan kewajiban mereka mendidik anak-anak mereka dengan agama. Maka tujuan adanya TPQ itu untuk memutus generasi buta al-Quran.
Bagaimana ceritanya ketika SMP justru TPQ-nya berhenti? Apakah lantas ngaji di pondok pesantren atau aktif datang di kajian? Ah tidak juga, trend ini saja sudah salah. Di tambah lingkungan yang salah, apa jadinya nanti. Aku bilang kepada mereka, tidak ada kata berhenti dari TPQ. Ayo ngaji lagi dek!