Tiba-tiba tersulut emosiku. Ah, betapa mengerikannya angka korupsi di negeriku. Masak sih Indonesia tidak sanggup untuk membangun kota semegah ini, sekedar untuk memindahkan ibukota dari Jakarta yang sudah padat itu. Pemandangan malam ini menjadi paradoks atas pembicaraan berapi-api para politisi dalam membangun bangsa. Karena kekayaan yang melimpah baik berwujud uang maupun sumber daya alam lainnya kini tidak lagi dalam kendali bangsa Indonesia. Bilakah kita bisa membangun monumen kebanggaan ini. Ini bukan soal bermegah-megahan kawan, tetapi bangsa ini perlu monumen kenangan yang menyatukan dan memberi inspirasi untuk generasi bangsa selanjutnya.
Kota Putrajaya adalah sebuah pesan untuk generasi Malaysia di masa yang akan datang, bahwa negara itu telah memasuki abad milinium. Mereka telah lepas landas dari masa negara berkembang menjadi negara yang maju. Bukankah ini sebuah visi yang besar sehingga masyarakat akan tergerak untuk berkembang mengikuti visi yang telah dibangun pemerintahnya. Bagaimana dengan negeri kita yang kebanayakan orangnya masih berkutat pada perebutan kekuasaan, mencela, dan mencibir karya orang lain. Ah, itu adalah hal-hal yang mesti kita kubur dan kita jauhkan dari telinga agar optimisme membangun Indonesia senantiasa menyala.
Perjalanan malam ini pun berakhir di Masjid Putra. Hingga akhirnya kami kembali pulang ke Putrajaya Sentral bersama seorang supir kelahiran Kediri tetapi telah menjadi warga negara Malaysia dan kini mendapatkan pekerjaan yang layak sebagai pengemudi transportasi umum di kawasan paling elit se-Malaysia itu. Mungkin aku harus kembali menengok bagaimana orang-orang Turki, Mesir, Arab dan banyak orang di Jerman ketika itu yang mereka menjadi warga negara Jerman namun selalu memberikan kecintaan dan pembelaan untuk tanah air mereka.
Mungkinkah orang-orang asal Indonesia di sana juga melakukan hal yang sama. Ah, itu terlalu naif mengingat sebenarnya dua bangsa ini sebenarnya serumpun, namun akhirnya terpecah oleh realita sejarah. Abang dan adik, kini mereka telah berjalan di atas laluannya sendiri-sendiri. Aku pun menunduk dalam kelesuan di perjalanan pulang menuju asrama mahasiswa Universitas Malaya, tempat penginapan Faqieh dan teman-temannya. Tempat penginapan yang ternyata jauh lebih murah dibandingkan Rumah Tumpangan, 25 MYR saja. Kabar baiknya, ada banyak kamar yang bisa disewa oleh publik, termasuk orang-orang yang sedang backpacker-an seperti kami.
bersambung ….