Malam itu terasa berbeda dari biasanya. Sebuah Sabtu di Bulan Desember menjadi hari-hari yang amat kurindukan untuk mendapatkan suasana itu lagi. Di perjalanan pulang selepas bersilaturahim di Wohnheim-nya mas Ferdi dan mas Rizky sekaligus mengucapkan pamitan semoga bisa bersua lagi di kesempatan yang lain, aku terpana melihat kerlip lampu-lampu yang menghiasi kota Wuppertal di permulaan musim dingin. Aku sadar, esok adalah hari terakhir yang tertera di visa kunjunganku ke negeri tempat Habibie pernah belajar dan kini menjadi ilmuwan besar dunia.
Dalam perjalanan itu, aku perhatikan salju telah menghilang setelah dua pekan yang lalu bak tumpukan tanah menggunung dengan putihnya. Ini adalah jeda sesaat, karena setelah itu akan datang puncak musim dingin yang lebih dingin dan tebal saljunya. Suhu udara malam ini pun terasa lebih hangat seiring dengan badanku yang mulai terbiasa setelah sebulan berakrab dengan hari-hari yang dingin. Di Jerman, negeri yang kuakui ketangguhannya di Perang Dunia II di bawah ambisi besar sang panglima Fasis, Adolf Hitler.
Tiba-tiba ingatanku melayang pada saat tertidur di tengah seminar skripsi kakak tingkat di kampus Pabelan. Saat itu ada SMS masuk dan memintaku segera ke kampus Kentingan. Katanya ada peluang kunjungan belajar ke Jerman. Dengan segera kupacu kuda besiku untuk menjawab rasa penasaranku itu. Benarlah, itu hari yang menentukan saat aku sendiri tidak punya persiapan apa-apa. Paspor pun tak punya, apa lagi uang saku, jelas tak ada. Tapi aku hanya berpikir, ini adalah kesempatan emas yang harus ku jawab iya setelah beberapa adik tingkatku perwakilan dari prodiku ditolak karena persyaratan yang tidak mereka sanggupi. Aku siap dan aku akan berangkat.
Memanglah semua adalah kehendak Allah yang maha mengatur takdir hamba-Nya. Aku hanya yakin bahwa jika ini baik bagiku, maka aku akan berangkat ke negeri impian itu. Ayah pernah bilang ketika aku kecil, “Nak, belajar yang rajin ya, biar pintar seperti Pak Habibie!“. Aku memang ingin ke negeri itu sejak ayah menceritakan siapa Habibie, dan kemudian kubaca jejak hidupnya, tapi tidak dalam waktu ini. Tapi rencana Allah lebih indah dan akhirnya kesempatan itu datang lebih cepat. Segala puji bagi-Mu ya Rabb.
Demikianlah, akhirnya dengan dukungan dari Fakultas selaku pelaksana program, dan ditunjang tangan-tangan tak terduga yang memang sepertinya telah siap untuk menghulurkan bantuannya, dan doa dari orang tua, maka perjalanan yang kemudian memberi pengaruh besar dalam hidupku ini terjadi. Sebulan aku berada di negeri yang sangat asing, yang bahasanya saja membuatku pusing ketika dipelajari saat SMA. Kini aku benar-benar telah ke sana, menginjakkan kaki untuk satu bulan lamanya dalam dinginnya salju di permulaan musim dingin.
Mimpi yang tersimpan dalam hati itu terjawab. Aku menikmati bagaimana sebulan menjadi mahasiswa di jurusan pendidikan kimia Bergische Universitat Wuppertal bersama Prof. Michael W. Tausch dan tim-nya. Aku belajar bagaimana Jerman mendidik generasinya untuk terus melanjutkan pembangunan negeri itu. Di sela-sela waktu akhir pekan, kota Dusseldorf, Muenster, Dortmund, Berlin, Aachen (tempat kenangan bagi Habibie ketika belajar) pun kami sambangi. Lagi-lagi ini bukan mimpi. Di pekan terakhir saat libur Weinachten (Natal), ambisi menjejakkan kaki di Kota Paris pun terwujud. Ternyata Menara Eiffel lebih kecil dari imajinasiku. Kemudian kota Amsterdam yang membuatku rindu melihat sepeda-sepeda kuno itu hadir lagi di tanah air ketika saat ini masyarakat kita justru bergaya dengan sepeda motor yang boros BBM.
Dan ingatan itu sempurna dalam refleksi perjalananku pulang menuju Gastehauss. Akan kurangkai perjalanan ini dalam cerita yang akan terus kubagikan kepada kawan-kawan yang ada di tanah air. Keindahan Eropa dan Wuppertal malam itu sesungguhnya refleksi bahwa Indonesia itu jauh lebih indah dibanding apa yang kulihat malam itu seandainya kita berhimpun untuk membangun dan mencintainya.
Sesampainya di Gastehauss, kunikmati malam perpisahan bersama satu tetangga kamar. Seorang Profesor yang sangat ramah dari negeri Tirai Bambu mengajak kami menikmati kopi dan menghabiskan malam terakhir, malam yang esoknya hingga seterusnya akan kuingat keramahan orang-orang Eropa yang kutemui dan semoga tetap kudapati setelah aku kembali. Hadiah yang kami berikan padanya, rupanya menjadikannya rela untuk bangun lebih awal dari biasanya demi mengucapkan selamat jalan untuk kami dan membantu membawakan koper kami yang terlalu banyak mengangkut coklat dan oleh-oleh.
Jerman, aku akhirnya bisa ke sana. Dan aku akan kembali lagi setelah aku selesai urusanku di sini! Semoga Allah meridhoi.
Diambil dari http://tellus.uns.ac.id/wuppertal-keindahan-malammu-tak-akan-terlupakan
Kisah selengkapnya tentang perjalananku ke Eropa di sini!
Wah Ardika mau balik ke Jerman lagi? :D.
Dalam perencanaan mbak. Mohon doanya!