Hari ini alhamdulillah bisa silaturahim ke Klaten. Undangan untuk berbagi kepada adik-adik Rohis SMA 1 Wonosari …… Klaten (kok sama ya dengan SMA ku dulu, SMA 1 Wonosari …. Gunungkidul). Karena BBM naik, aku memilih naik angkutan umum saja. Meskipun lama, ternyata sensasinya kembali terasa setelah beberapa waktu tidak menikmatinya.
Demi kenyamanan, kupilih Damri yang seperti Transjakarta. Karena di Solo relatif sepi aku bisa duduk sambil membaca buku. Eh, ketika pindah ke bus Jogja-Solo ternyata harus berdiri sampai Terminal Penggung Klaten. Sepertinya sekarang angkutan antar kota mulai terbatas sehingga terjadi penumpukan penumpang pada jam-jam normal. Kadang kasihan juga lihat ibu-ibu yang dipaksa berdiri, lha gimana mau ngasih tempat, wong saya juga berdiri.
Sambil mendengarkan alunan lagu-lagu berbahasa Mandarin yang dinyanyikan Alan Dawa Dolma dan lagu-lagunya Maher Zain perjalanan ini menjadi tidak begitu sesak meskipun terkadang muncul rasa kesal juga dengan ketidaktersediaan transportasi publik yang representatif. Hal yang sangat berbeda dengan di Jerman ketika pemerintah berhasil membangun kolaborasi dengan perusahaan yang ada sehingga sarana transportasi publi terpenuhi dengan baik.
Kalo sudah begini aku geram dengan guru-guru yang hanya bisa mengajar teori tentang kapitalisme dan komunisme berdasarkan buku paket yang mereka baca tanpa melihat realita. Hari ini justru kudapati negeri-negeri yang dicap kapitalis oleh sebagian guru-guru Indonesia justru tidak benar-benar kapitalis, karena mereka meskipun membiarkan berlakukan sistem pasar, tapi pemerintah tidak berkompromi jika sudah menyangkut tanggung jawab sosial perusahaan dan layanan publik. Hari ini pula, negara-negara yang mengaku komunis dan sosialis tidak benar-benar tertutup dari sistem pasar karena mereka juga terus mendorong pertumbuhan industri dan investasi dalam negeri mereka.
Yang kin harus kita sadari justru masalah kacaunya negeri ini karena menjadi pengamal teori paling mentah sejagad. Barangkali kita lebih kapitalis dari negara-negara kapitalis karena abai terhadap tanggung jawab mengurusi rakyat. Bukankah negara itu lembaga nirlaba yang sudah seharunya tidak berpikir untung rugi dalam mensejahterakan rakyat. Jika alasan ketakutan mengusir penjajah dalam bentuk imperium ekonomi asing menjadikan kita berutang bukankah negara ini sedang membangun usaha dengan utang yang jelas-jelas merugikan, sementara kita telah memiliki SDM yang hebat dan kekayaan alam yang tak terkira.
Maka sudah seharusnya kita bersyukur menjadi orang Indonesia. Saat aku akan menaiki bus, aku membeli es jeruk yang harganya cuma dua ribu rupiah saja. Harga yang jauh sangat murah karena kurang dari 20 cent Euro. Ketika aku di Jerman, untuk satu gelas kecil coklat saja harus mengeluarkan kencleng 50 cent Euro yang senilai hampir 6.500 rupiah. Bahkan ketika di Paris, 1 Euro. Masih lebih murah di tanah air kita. Bahkan jika belum puas, kita bisa memanjat kelapa orang (tapi itu mencuri namanya) dan menikmati minuman alami paling segar secara gratis.
Ketika makan, kita ambil lauk macam-macam ketika di Solo hanya habis 10-15 ribu saja. Itu hanya berkisar 1 Euro saja, sementara di Jerman sana kita mungkin harus merogoh kocek sampai 5 Euro. Bahkan di Amsterdam harus mengeluarkan uang 12 Euro. Sungguh, jika hanya kenaikan BBM 2 ribu terus membuat kita banyak beralasan macam-macam, barangkali kita akan banyak dapat laknat dari Allah lantaran kita yang tidak pernah bersyukur tinggal di negeri yang semuanya serba gratis SDA-nya. Sampai-sampai pemerintah kita bersedekah kepada Freeport, Chevron, Newmont, Exon dll. Aku tidak bisa mengakui itu kontrak kerja sama karena kita tidak mendapatkan bagian yang semestinya. Itu sedekah namanya untuk mereka. Sedekah yang keterlaluan ditengah rakyat dan para pegawai negerinya masih mengidap penyakit mental miskin kelas akut.
bersambung …….