Realita Kota Air
Adalah Amsterdam, kota yang memang sangat bebas dalam mengumbar berbagai hal. Di sini bahkan sangat mudah dijumpai berbagai alat yang sebenarnya sangat tabu di Indonesia, bahkan di Jerman sekalipun juga masih ditutupi. Tidak perlu saya ceritakan di sini apa saja. Hemm, mengerikan sekali, sampai-sampai kawan-kawanku yang putri ketakutan waktu lihat barang-barang itu juga dijual bebas di toko-toko souvenir.
Kami terus di ajak mas Taufik menyusuri gang-gang kota yang memang sangat indah di malam hari. Tiba-tiba beliau bertanya, “Sudahkah kalian ke Lampu Merah (Red Light District)?”. Apa itu? Beliau tertawa, itu adalah zona prostitusi paling besar di Eropa yang diumbar terbuka laksana pasar burung. Begitu denger itu aku langsung merinding. Ih, mengerikan banget ya. Parah. Lebih lanjut lagi beliau bilang bahwa di sini, yang namanya Kafe sudah pasti satu set sebagai tempat transaksi berbagai narkoba mulai dari ganja hingga yang lebih mahal dari itu. Pembicaraan kami berhenti di sebuah restoran suriname dan kami memesan nasi goreng dengan potongan ayam goreng yang super besar di atasnya. Jangan tanya di sini porsinya ya tetep besar seperti waktu di Mr. Pung City Arkaden Jerman.Setelah kenyang di restoran berharga terjangkau ini (karena rata-rata di Amsterdam sekali makan biayanya di atas 10 euro, gila sekali makan 130 ribu rupiah coba), mas Taufik mengantar kami mencari penginapan yang terjangkau. Ada hotel dan hostel. Kalau hotel itu per kamar satu orang, tapi harganya mahal. Kalau hostel itu satu kamar dengan beberapa kamar tidur sehingga harga per orangnya relatif murah. Singkat cerita kami mendapatkan hostel dengan harga 10 euro per orang untuk satu malam. Dan lagi-lagi tempatnya tidak terlalu jauh dari Lampu Merah. Meski agak merinding, tetapi karena lihat kantong juga akhirnya kami memilih menempati hostel ini. Dan kami bisa menikmati malam dengan tidur pulas usai membeli tiket harian seharga 7,5 euro untuk agenda jalan-jalan besok paginya.
Tour de Amsterdam
Pagi-pagi sekali kami sudah bangun (maksudnya pukul 7, waktunya subuh), karena matahari terbit jam 8.30, kami segera berkemas pukul 8 pagi untuk melihat keindahan kanal Amsterdam di pagi hari. Indah memang, tapi lagi-lagi yang kuingat adalah ini mah hasil meras bangsaku 350 tahun yang lalu. Ya sudahlah, sekarang mari orang Indonesia manfaatkan kesempatan untuk belajar di sini ketika negeri ini memberi banyak beasiswa, seperti bang Ucup, salah satu generasi Indonesia yang banyak berbagi inspirasi tentang belajarnya di sini. Mumpung politik etis itu masih berjalan hingga kini, ambillah salah satu pilihan di sini, dari pada hanya protes dan terlalu banyak mikir politik di negeri sendiri yang ga kunjung selesai karena selalu dikawinkan dengan korupsi.
Tak banyak target kami di Amsterdam ini, hanya dua saja yakni Museum Plein dan Ajax Arena. Yang lain kami nikmati dari balik kaca trem saja. Toh semuanya sangat indah dilihat dengan mata kepala sendiri. Meskipun pada akhirnya aku tidak punya foto-foto yang nampang di tempat-tempat indah itu. Tidak masalah. Target pertama adalah kami mengunjungi Museum Plein, yaitu kawasan yang bertuliskan I AMSTERDAM. Apa sih yang menarik? Tulisannya? Bagiku itu mah biasa saja. Yang menarik adalah daerah ini sangat bersih dan beberapa jenis burung bebas berterbangan ke sana kemari. Orang-orang ramai bersepeda. Tenang, mobil-mobil melewati jalan kota berdampingan dengan trem dan semua terlihat harmony. Aku masih melihat jenis-jenis sepeda yang kalo di Indonesia itu termasuk jenis sepeda kuno (tapi sebenarnya malah lebih kuat) yang hanya diminati orang tua. Di sini jenis-jenis sepeda seperti itu masih banyak dan nampaknya sangat disukai oleh para penduduk baik usia anak-anak maupun dewasa.
Yah, saatnya Indonesia itu harus mau belajar untuk saling mendukung. Yang jadi pemerintah dan DPR/DPRD mbok ya jangan saling main uang terus. Jangan korupsi terus seperti itu, cukupilah kebutuhan publik seperti sarana transportasi yang nyaman. Yang masyarakat biasa, mari sedikit menahan diri, jika memang tidak terlalu memerlukan sepeda motor, mari kita budayakan jalan kaki saja atau bersepeda. Hemm, aku pernah berjalan kaki waktu ke kampus hampir setahun, kemudian karena punya banyak urusan di kampus akhirnya terpaksa motoran lagi. Pulang dari sini sepertinya aku harus bertekad untuk jalan kaki lagi. Yah, ketika kota-kota di Eropa telah didesain untuk ramah lingkungan, kenapa justru orang Indonesia hari ini cinta banget dengan kemacetan dan polusi. Kata Pak Erie, itulah egoisme. Sepeda motor dan mobil yang terus bertambah setiap tahun adalah saksi bagaimana manusia Indonesia hari ini, mau yang pintar atau pun bodoh menjadi sama saja. Sama ga jelasnya.
Setelah puas ke Museum Plein, kami kembali ke Amsterdam Central untuk memborong berbagai souvenir (gayanya saja memborong, karena temanku ada yang beli besar-besaran, kalo aku mah karena ga ada souvenir yang semurah di Perancis jadi ya sudahlah ga usah beli macem-macem). Karena rute kami ke Ajax Arena (Stadion) itu sejalan dengan Amstel Amsterdam jadi kami sekalian pulang setelah dari sana. Kali ini kami tidak menaiki trem, tetapi menuju ruang bawah tanah tempat metro 54 mengantar kami ke Amsterdam Biljmer Arena, stasiun megah yang di bangun di samping Stadion Ajax Arena, markasnya klub elit di Belanda itu.
Hemm, stasiun-stasiun di Amsterdam desainnya lebih cerah dan modern dibanding di Jerman. Kalau di Jerman, justru kesan bangunan kunonya lebih ditonjolkan, terutama saat di Wuppertal Hbf, Dusseldorf Hbf, Magdeburg Hbf dan beberapa stasiun yang pernah kulewati. Di stasiun dekat markasnya Ajax ini aku berfoto-foto dan menikmati indahnya burung-burung yang bebas beterbangan ke sana ke mari. Alangkah bebasnya mereka menikmati suasana kota yang tidak bising dan bersih dari polusi. Setelah puas melihat-lihat kemegahan stadion dan bangunan di sekitarnya, kami segera kembali ke metro dan meluncur ke Amstel Amsterdam.
…. bersambung