Upgrading SKI di lingkungan kampus, kemudian di Tawang Mangu. Atau Uprading SIM di Ngargoyoso. Upgrading BEM UNS di Segorogunung. Itu sudah biasa dan mungkin sudah menjadi tradisi ormawa di kampus hijau kota Bengawan ini. Tradisi tahunan itu mesthi harus memilih rumah singgah atau vila yang baik namun terjangkau, ditinggali bersama dan diramaikan dengan acara yang juga seperti tahun yang lalu.
Namun pernahkan terpikir jika upgrading itu tinggal di rumah-rumah penduduk, mengadakan acara bersama dengan masyarakat dan memberikan santunan kepada masyarakat. Acungan 2 jempol tanganku untuk adik-adik BEM FE yang telah memecah tradisi itu dengan membuat sebuah terobosan pemikiran cerdas yang layak untuk dikembangkan dan diteruskan oleh ormawa di kampus yang ingin memberi arti tridarma perguruan tinggi bahwa peran pengabdian masyarakat harus dimulai dari mengenal lebih dekat dengan masyarakat dan berbaur dengan mereka.
Sabtu-Ahad, 22-23 September ini mereka melakukan upgrading di kampung halamanku, Banaran, Beji, Ngawen, Gunungkidul. Tidak penting ditanya mengapa mereka memilih tempat tinggalku. Yang pasti aku merasa terharu dan keduluan atas inisiatif mereka. Yah, benar sekali, perubahan itu terjadi karena tindakan. Aku pernah berpikir tentang hal ini, tapi mereka lebih dahulu merealisasikan, mereka menang dan merekalah pemegang lisensi cara cerdas ini. Ada banyak pelajaran yang ku petik selama aku mendampingi mereka baik dalam persiapan maupun selama Up Grading ini.
Ternyata “Nembung” aja Susah Kan
Hal yang membuatku senyum-senyum adalah dulu ketika aku mengantarkan mereka kepada kepala dusun. Yah, ternyata mahasiswa hari ini harus kembali membuka buku IPS SD kelas 3-4 agar mengerti susunan birokrasi pemerintahan dan karakteristiknya. Mereka telah lupa bahwa pernah belajar lurah, dukuh dan keluasan wewenangnya, sehingga bingung waktu menyusun undangan di proposal. Tidak mengapa, itu akan menjadi pelajaran berharga bagi mereka.
Setelah mereka menyusun rencana yang ideal di kepala mereka, kuantarlah mereka untuk “matur” kepada Pak Ahmadi selaku dukuh, pemimpin dusun Banaran. Beliau menyambut kami dengan ramah dan menanyakan maksud kedatangan kami. Dan perbincangan alami pun terjadi di antara mereka dan pak dukuh. Aku banyak mengamati dan sesekali menghubungkan komunikasi adik-adik yang rata-rata tidak dapat menggunakan bahasa ibu mereka sendiri (bahasa Jawa, krama alus).
Adik-adik pun bercerita bahwa ternyata susah juga berdiskusi untuk sekedar nembung ke warga. Yah, begitulah adik, berkomunikasi dengan masyarakat tidak seperti berdiskusi dengan civitas akademika. Butuh penyederhanaan kata, butuh etika, butuh pemilihan sikap yang tepat. Masyarakat jawa adalah masyarakat yang sangat peka dalam menilai seseorang, mereka tidak akan mengatakan siapa kita di depan, tetapi mereka akan menelanjangi kita habis-habisan di belakang dalam pembicaraan di kalangan mereka.
Untuk perencanaan-perencanaan selanjutnya mereka kubiarkan untuk mengurus sendiri untuk mendidik kedewasaan mereka berkomunikasi dengan warga. Aku membantu menguruskan administrasi perizinan mereka untuk keamanan dan pemerintah desa.
Berbaur Dengan Warga
Hari upgrading pun telah berjalan. Aku tidak bisa datang menyambut kedatangan mereka karena masih harus menyelesaikan urusan di Solo. Ada Pak Ahmadi dan para ketua RT yang menyambut kedatangan mereka dan mempersilahkan mereka untuk tinggal di dusun asriku selama 2 hari. Rombongan yang datang dalam 2 kloter itu, yang berjumlah hampir 50 orang tersebar di 8 rumah penduduk.
Kegiatan mereka selama di Banaran cukup unik. Jauh dari apa yang mereka rencanakan pertama kali. Yah idealisme mereka harus dibayar dengan mengalah saat telah berdiskusi dengan tokoh masyarakat. Setelah mereka beristirahat dan berkenalan dengan tuan rumah yang mereka tinggali, sorenya diadaka pertandingan sepak bola antara Karang Taruna Manunggal Putra Banaran dengan BEM FE di sebuah lapangan yang spesial. Dulu Pak Ahmadi dan Pak Suradi sudah mewanti-wanti untuk membawa sepatu bola, ternyata adik-adik BEM FE banyak yang “cekeran” saja. Ha ha ha, linu-linu semua pasti kakinya, atau mungkin sempat masuk dalam lubang-lubang tanah kering di lapangan.
Malam harinya, warga pun berdatangan untuk ikut menonto FILM tentang KPK bersama para mahasiswa. Setelah itu dilanjutkan dengan api unggun di depan balai desa. Ibu-ibu terlihat antusias melihat atraksi-atraksi lucu mereka. Aku tidak mengikuti semuanya karena malam itu bersamaan dengan diskusi dengan teman-teman IM3 UGM. Ada hal yang indah di antara kami, mahasiswa UNS akhirnya terhubungkan dengan mahasiswa UGM dalam sebuah jalinan persahabatan yang dekat dengan masyarakat. Dusun ini mempertemukan mereka. Aku berharap jalinan ini berterusan dan terjadi saling tukar inspirasi.
Waktu di Desa, tak Seideal Di Kampus
Setelah puas berapi unggun, acara istirahat malam pun dimulai. Kebetulan malam itu masih dingin. Aku tidur di balai desa beralas tikar dengan ketua PRISMA (biasalah anak desa asli), soalnya yang jadi penghuni rumahku adalah adik-adik putri. Paginya, ternyata tak banyak yang datang shalat subuh di masjid. Mungkin masih kedinginan, mungkin juga masih ngantuk lantaran tadi terlalu larut malam selesainya.
Aku tidak sempat mengikuti perjalanan mereka, karena setelah subuh aku dan teman-teman IM3 UGM berjalan-jalan menuju sungai Oyo. Adik-adik BEM melakukan outbond di tempat yang biasa buat kami blusukan, yaitu gunungan selatan. Biarlah mereka menikmati hawa panas dan debu, toh pemandangannya juga masih indah kok meski di tengah kemarau panjang seperti ini. Agendanya aku diminta mengisi materi tentang pemberdayaan masyarakat, namun aku menyerahkan teman-teman IM3 UGM untuk berbagi, karena pengalaman mereka lebih nyata.
Setelah ditunggu-tunggu cukup lama, ternyata acara outbondnya molor berat dan baru berakhir mendekati shalat dzuhur. Aku merasa tidak enak dengan Presiden IM3 yang sudah ngoyot sejak pagi menunggu. Akhirnya kupersilahkan dia menuju agenda selanjutnya dan balik ke Jogja. Ini pelajaran berharga untuk adik-adik panitia agar lebih disiplin dalam mengelola waktu.
Sesuai dengan jadwal, penutupan dilakukan setelah makan siang dan shalat dzuhur. Dan benarlah, bu Sularti, lurah Desa Beji datang tepat waktu. Acara pun dimulai dan pelepasan kembali ke Solo disampaikan oleh bu Lurah. Beliau memberikan apresiasi kepada mahasiswa UNS yang mau jauh-jauh mengunjungi gunungkidul, begitu pun Pak Ahmadi dan tokoh masyarakat yang lain.
Bakti Sosial, Memberi itu Tak Sekedar …..
Setelah acara penutupan selesai, mahasiswa dibagi dalam 2 kelompok besar untuk menyerahkan santunan kepada warga Banaran yang jompo. Rombongan pertama kuarahkan menuju RT 1 dan 2. Mereka kuberi arahan rumah-rumah yang harus mereka kunjungi. Mereka ku pecah menjadi 6 kelompok sesuai dengan jumlah penerima santunan. Sedangkan rombongan kedua dipimpin oleh dek Citra, warga pribumi juga yang sekarang menjadi aktivis IM3 UGM dan PPSDMS Nurul Fikri. Mereka dibagi menjadi 4 kelompok di zona RT 3 dan 4.
Ada pertanyaan menggelitik yang selalu ditanyakan adik-adik itu. “Kak, nanti pakai bahasa apa ya?” Yang lain bertanya, “Kak, nanti ngomongnya gimana ya?”. Itulah, ternyata meski sudah mengenal bahasa Jawa dan Indonesia, untuk berbahasa saja kita sering lupa untuk menggunakan ilmu itu. Bertamu pun kita sebenarnya juga sudah diajari sejak kecil, mengapa masih bingung untuk berkata apa.
Itulah pelajaran berharga dalam puncak upgrading kali ini bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat. Untuk sekedar menyerahkan sesuatu kepada orang tua saja terkadang kita tidak siap kan. Apalagi harus berbicara tentang pemberdayaan dan pengabdian masyarakat. Kehidupan di kampus hari ini, seperti kehidupan alam mimpi. Dan sesungguhnya kehidupan masyarakat kita, itulah senyatanya kehidupan.
Selain itu, adik-adik BEM FE juga memberikan sebuah rak dan beberapa al-Quran serta infaq untuk masjid Al-Hidayah. Terima kasih adik-adik. Semoga semangat yang kalian dapatkan disini dapat menjadi spirit baru dalam gerak BEM FE ke depan, dengan wawasan baru dan strategi yang lebih memasyarat. Kata Bachtiar, presidennya, sekarang saat mahasiswa membangun Indonesia dengan karya. Kalau begitu buktikanlah wahai mahasiswa. Hidup mahasiswa!
Luar biasa memang, sesuatu yang jarang dilakukan kebanyakan orgamisasi di kampus ini. Namun satu hal yang kusoroti, betapa anehnya seorang mahasiswa yang kurang begitu bisa bagaimana berkomunikasi dengan masyarakat, padahal merekalah yang nantinya harus bermasyarakat.
Makanya, apalagi kalau cuma mikir dekat dengan masyarakat, tapi ga pernah praktek langsung dan meningkatkan jam terbang. Dijamin kita bakal “oon” dalam status pintar, “gebleg” dalam pakaian sarjana, dan “bloon” dalam anggapan cendikia.
Asyik kayake kuwi Bang..
Eh Bang, bahasanya alusan dikit dunk 😀 😀
Lagi onfire. Ben lah, biar menggertak yang pada tertidur. Ben ra do lomba pidato wae
Saya setuju mas. . . .
Lebih kritis dengan pendapat2ku ya. Setiap kita adalah evaluator bagi yang lain