Pendidikan itu ….. sesuatu banget. Iya, hari ini hampir tak banyak dari kita yang tahu bagaimana seharusnya pendidikan kita. Monotonisasi (ups niru2 Vicky), maksudnya kemonotonan yang berjalan dari sebuah sekolah yang mengisyaratkan adanya model pendidikan yang seperti itu sejak zaman baheula hingga hari ini, dengan seragam dan segalah atribut penyeragaman lainnya, termasuk penyeragaman berpikir menjadikan lulusan-lulusan sekolah hari ini hanya sedikit berbeda dari sebelumnya. Iya sedikit saja berbeda, masalah tambah hafalan dan tambah pengetahuan. Soal pemahaman, lupakan karena UN tidak mengukur orang yang paham, tetapi orang yang tahu, terutama tahu mana yang harus disilang. Betul kan.
Nah, malam ini aku mendapat kesempatan untuk membersamai bapak-bapak wali murid Sekolah Alam Bengawan Solo. Setelah mereka melakukan studi banding di sebuah kawasan masyarakat produktif di salah satu area di Daerah Istimewa Yogyakarta, mereka semakin bersemangat untuk bagaimana menjadi orang tua yang mandiri dan mendidik anak-anaknya kreatif sejak kecil. Bagi orang tua yang sudah hadir di forum malam ini, nilai 8-10 bukanlah hal yang begitu penting selama anak-anak mereka yang sekolah di tempat spesial ini cakap menjalani hidup seperti bertambah peka terhadap masalah sosial, cinta lingkungan, dan tentunya semakin mandiri dengan berwira usaha sejak kecil.
Kok bisa, inilah sekolah yang oleh perintisnya, Pak Suyudi memang dibangun untuk mendidik anak-anak mandiri sejak usia SD-nya. Makanya kurikulum di sekolah ini sudah jauh lebih awal menerapkan intisari kurikulum 2013 sejak 3 tahun yang lalu. Meskipun visi ini dibangun sejak lama, namun menemukan seorang yang spesial untuk menjadi pemangku kebijakan strategis sekolah ini bukan hal yang mudah hingga akhirnya terpilihkan seorang arsitek (beneran asli lulusan fakultas teknik jurusan arsitektur) yang mau menjadi arsitek peradaban untuk sekolah ini.
Maka kini sekolah yang unik di tepi Sungai Bengawan Solo ini pun terus bangkit menata diri. Dan malam ini menjadi pembuktian bagaimana orang tua yang baik itu masih mau “bersekolah“ seperti putera-puterinya. Mereka yang memiliki kelebihan, siap berbagi dengan orang tua lain yang siap dilatih dan akhirnya mengembangkan kemandirian ekonomi bersama-sama. Anak-anak pun akan terlibat dalam berjualan dan mandiri sejak dini. Inilah yang menurutku salah satu konsep pendidikan yang hilang dari negeri kita sejak gedung-gedung sekolah berdiri dan membatasi semua ruang imajinasi siswa dengan seragam, keseragaman, dan penyeragaman.
Akhirnya semua hanya menjadi sebuah ilusi mimpi tentang generasi yang mandiri, karena sesungguhnya lulusan-lulusannya terutama yang sarjana tak lebih menjadi golongan-golongan obsesif yang paling garang mencari pekerjaan. Pekerjaan itu dikerjakan bukan? Bukan dicari. Ah bagaimana mungkin seorang sarjana mencari pekerjaan, sedangkan begitu banyak pekerjaan yang sudah jelas-jelas terbuka di depan mata kita. Tentang negeri yang kaya tapi tidak dimiliki sendiri. Tentang generasi muda yang banyak jumlahnya, tapi hanya asyik main PS dan lupa dengan cita-citanya. Tentang para pejabat yang sudah terlanjur nyaman di singgahsana lantas lupa dengan tugasnya. Ah, itu semua pekerjaan bukan. Bahkan tentang batu-batu yang masih berceceran di depan rumah kita. Itu juga pekerjaan.
Diskusi malam ini berakhir dengan sebuah harapanku. Semoga kelak sekolah ini terus tumbuh menjadi percontohan bagaimana kesuksesan pendidikan itu terletak pada usaha bersama orang tua dan sekolah dalam membangun lingkungan yang terbaik bagi putera-puteri mereka. Bukan soal nilai kuantitatif saja yang dicapai, tetapi kecakapan hidup yang terus tumbuh pada benak mereka seiring berjalannya waktu. Dan akhirnya terlahirlah generasi-generasi Indonesia yang mandiri dan kreatif. Semoga!