Ceritanya kemarin siang kami berbincang di base camp Komunitas Pintu. Berawal dari diskusi yang dimulai oleh Pak Yudi, perintis Sekolah Alam Bengawan Solo yang melontarkan gagasan tentang manajemen biopori sebagai proyek integral orang tua siswa dan sekolah, kami mulai mendiskusikan tentang sekolah yang hari ini hanya sibuk berbicara tentang nilai, hasil ujian, dan yang formal-formal seperti itu.

Lalu salah satu dari kami (tapi bukan aku) nyeletuk bahwa sekarang tidak perlu kita bahas apa yang kurang dari masalah pendidikan sekolah kita kecuali satu hal saja, RASA MALU. Fasilitas pendidikan di negeri kita saat ini sudah terbilang bagus (asal tidak dibandingkan dengan negara-negara maju) dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Kesejahteraan guru saat ini juga sudah lebih dari cukup, asal mereka tetap hidup sederhana dan tidak ikut-ikutan meramaikan pasar pembelian mobil murah. Gedung-gedung sekolah? Meskipun di pelosok-pelosok masih banyak gedung yang reyot, umumnya gedung-gedung sekarang sudah representative untuk keberlangsungan proses belajar mengajar.

Hanya satu yang kami rasa kurang. Satu saja, tidak perlu menyebutkan kekurangan yang lain, yakni RASA MALU. Satu rasa yang sederhana tetapi kini mungkin tak tersisa lagi kecuali di dada-dada para guru dan murid yang jumlahnya sedikit sekali dibandingkan jumlah keseluruhan. Rasa yang membuat setiap guru mau berkorban waktu untuk senantiasa memberi perhatian kepada murid-muridnya karena Allah telah memberikan titipan ilmu luar biasa dalam dirinya. Rasa yang mampu menghentikan aksi menyontek dan segala bentuk kecurangan lainnya. Rasa yang membuat seorang kepala sekolah tidak hobi menarik bagian saat proyek pembangunan atau kenaikan pangkat guru atau memanfaatkan kekayaan orang tua/wali dalam kondisi-kondisi yang tepat untuk keperluan pribadi.

Aku pun terhenyak. Betul juga ya. Selama 12 tahun belajar di sekolah dan di perguruan tinggi, aku hanya merasakan pendidikan yang menekankan rasa malu saat bersama dengan seorang guru di SD. Guru yang kini disingkirkan dari sekolahku dahulu karena kejujuran dan keteguhannya menjaga diri dari korupsi berjamaah. Guru yang selalu mengajarkan kepadaku hidup untuk berani karena benar dan senantiasa memiliki rasa malu. Malu jika berbuat salah dan serangkaian perbuatan yang memalukan lainnya.

Dalam kelakar kami siang itu, kami berimajinasi seandainya ada perguruan tinggi yang membuka PUSAT STUDI RASA MALU atau JURUSAN RASA MALU. Tapi lagi-lagi kami bergurau gimana nanti gelar sarjananya. Atau kemudian ada mata kuliah PENGANTAR RASA MALU hingga STUDI LANJUT RASA MALU. Kami lagi-lagi tertawa, menertawakan pelajaran kewarganegaraan kami yang terasa membosankan karena hanya bergulat pada teori dan membuat kami lebih sibuk menikmati mimpi ketimbang berimajinasi akan negeri yang dipenuhi RASA MALU yang baik sebagai bangsa timur.

Saudaraku, mari kita tanyakan seberapa besar RASA MALU yang masih tersisa dalam diri kita. Karena kehilangan satu rasa itu maka kita akan menjadi makhluk yang sedikit saja berbeda dengan binatang atau bahkan lebih mengerikan karena kerakusan binatang itu ada batasnya, sedangkan kerakusan manusia benar-benar mengerikan.

Yah, tulisan hari ini adalah tentang RASA MALU. Silahkan diterjemahkan sendiri-sendiri seperti apakah seharusnya RASA MALU yang kita punya. Apa perlu kita usul pembantu rektor bidang kurikulum kita untuk menambahkan mata kuliah tentang RASA MALU?

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.