Sudah berbulan-bulan lalu kami menjadi bagian dari salah satu proyek perbaikan generasi bangsa, sejak Beastudi Indonesia memanggil kami dalam barisan aktivis. Sebuah julukan mentereng yang kadang menjadikan banyak orang lebay dengan status kemahasiswaan mereka hari ini. Namun kami justru dididik untuk tidak lebay dengan semua itu, bahkan kami harus terus berpikir keras hingga menemukan sebuah simpul “gerakan sosial“.
Setahun yang lalu, kami terus memulai diskusi untuk membuat konsep gerakan sosial yang tepat. Berbagai ide terus digelontorkan, diajukan, ditolak dan fase terus berulang. Hingga tak terasa masa kami setahun telah berlalu kemudian adik-adik angkatan penerima beasiswa aktivis setelah kami pun hadir dalam keluarga ini. Gagasan itu terus berlanjut dengan arahan gerakan Aksi Cinta Budaya Indonesia.
Awalnya memang abstrak menerjemahkan sebuah rangkaian kata indah itu. Budaya apa yang harus kita cintai? Bagaimana cara mencintainya? Dan sesungguhnya apa langkah konkritnya. Perlahan namun pasti, buah dari setiap diskusi diiringi dengan ketajaman analisis yang diikuti nasihat-nasihat bijak dari manajemen, akhirnya ketemulah sebuah konsep ACBI yang paling pas untuk kami deklarasikan. Yakni MARI KEMBALI BERBELANJA KE PASAR TRADISIONAL.
Pasar tradisional adalah budaya kita. Warisan interaksi dari nenek moyang kita tentang jual beli yang lebih manusiawi dengan adat ketimuran kita. Ada keakraban, ada tawar-menawar, bahkan di tempat ini pula perjodohan pun bisa saja terjadi. Ah, itu mungkin budaya basi hari ini karena mall sudah berdiri megah, lebih wangi dan tidak bau seperti jalan-jalan becek dan ruangan kumuh seperti toilet. Yang muda pun enggan untuk melangkah ke tempat-tempat bersejarah sekaligus cagar budaya yang tanpa status itu lantaran pakaian mereka kadung terbalut corak Eropa (yang sebenarnya imitasi murahan) atau mode Korea (yang jelas ga nyambung sama kulit sawo matangnya).
KEMBALI KE PASAR TRADISIONAL, itulah rumusan umum gerakan Aksi Cinta Budaya Indonesia yang diusung oleh para penerima Beasiswa Aktivis Nusantara (Bakti Nusa) Beastudi Indonesia Dompet Dhuafa untuk dikampanyekan kepada seluruh masyarakat di tanah air ini. Sebuah gerakan yang diharapkan dapat menggugah kesadaran bersama bahwa pasar tradisional itulah milik kita yang sesungguhnya. Ladang kehidupan jutaan rakyat kita yang hari ini terus dilindas oleh kapitalisme dan buruknya kebijakan pemerintah. Sebuah potret salah urusanya lembaga nirlaba raksasa bernama Indonesia.
Dan sore ini, kami melewati serangkaian “pembantaian” bermanfaat agar rumusan besar kami terus diperbaiki sehingga kelak menjadi pecut yang mengembalikan masyarakat kita yang terkena “amnesia” ekonomi. Jika kita masih ingin menyelamatkan Indonesia, mari kurangi rasa sombong kita dengan tidak perlu menjamah tempat-tempat yang hanya akan menghabiskan uang dan harga diri kita. Mari kita hargai warisan budaya kita, cagar budaya yang tidak pernah mendapat status dari pemerintah, PASAR TRADISIONAL.
Terima kasih Bu Sri Nurhidayah atas wejangannya malam ini. Hanya itu yang dapat kami ucapkan atas inspirasi luar biasanya. Kami tahu Bu, kemarahan ibu pada kami adalah cinta ibu yang besar untuk melihat kami tumbuh menjadi negarawan yang tidak hanya bicara soal kantong pribadi, tetapi kantong Bangsa Indonesia. Terima kasih.