Berikut ini adalah sebuah status menarik tentang koreksi atas persepsi kata PENDIDIKAN bagi kita hari ini, baik orang tua, calon guru, guru, ataupun siswa yang sudah bisa berpikir dewasa.

Mereka yang terlalu tergesa ingin memberi solusi pendidikan biasanya mengira pendidikan akan baik dan maju jika banyak gedung sekolah dibangun, jika banyak anak-anak tak mampu bisa bersekolah gratis, jika banyak diselenggarakan seminar pendidikan, jika banyak buku2 dibagikan, jika banyak beasiswa ditebar, jika banyak jumlah sarjana dihasilkan, jika banyak guru-guru terstandar dikirim, jika banyak juara olimpiade matematika dan fisika dll yg lahir, jika banyak gedung sekolah anti gempa dibangun, jika banyak anak yg berangking tiga besar di sekolahnya dstnya.

Mereka yang seksama memahami hakekat pendidikan pasti sepakat bahwa pendidikan bukan tentang gedung berAC dan tahan gempa, bukan ttg beasiswa, buka ttg guru bersertifikat, bukan ttg juara dan medali yg berlimpah, bukan ttg jumlah buku yg dibaca, bukan ttg gelar dan kesarjanaan, bukan! Karena seseorang bisa belajar dimana saja, di pasar, di masjid, di ladang, di kebun, di perahu dsbnya. Seseorang bisa belajar kepada siapa saja, kepada Mbok Bakul, kepada Pak Tani, kepada Pengrajin, kepada pembuat kapal dan perahu, bahkan kepada alam, kepada peristiwa2 kehidupan yg bersliweran di keseharian kehidupan dstnya.

Pendidikan adalah upaya orangtua, baik sendiri maupun berjama’ah, menemani anak-anak mereka untuk merajut mimpinya, menemani anak2 mereka utk menemukan dan mengembangkan fitrah diri anak2 mereka berupa fitrah keshalehan, fitrah bakat produktif, fitrah mencintai alam negerinya, fitrah belajar dari kehidupan, fitrah memberi solusi bagi bangsanya dan semesta, fitrah akhlak yg mulia dstnya. Lalu dengan itu semua, anak2 mereka akan mandiri, berperan dalam peradaban, memberi manfaat sebesarnya bagi kehidupan dan mampu mempertanggungjawabkannya di akhirat kelak.

Sumber: https://www.facebook.com/harry.hasan.santosa/posts/10201963078828697

Tiga paragraf di atas adalah status dari mas Harry Santosa hari ini. Sebuah status yang menggugah dan memberikan kita definisi segar tentang pendidikan yang hari ini telah dimanipulasi oleh sebuah sistem yang rumit, mulai dari sistem politik hingga peranakannya. Pendidikan kita hari ini, sadar atau tidak telah jauh dari apa yang diimpikan oleh Bapak Pendidikan kita, Ki Hajar Dewantara, pendidikan yang membangun manusia seutuhnya. Hari ini bicara pendidikan dan sekolah, maka cukup pada ujian, nilai dan peringkat. Hambar dan ternyata membuat sebagian orang sombong dan sebagian lain frustasi bahkan akhirnya jadi anak liar dan suka bolos sekolah.

Hari ini pula, sekolah negeri bukanlah sekolah favorit. Kebangkitan sekolah-sekolah swasta Islam di negeri ini mengembalikan generasi-generasi muda hari ini untuk menjadi generasi berbudi pekerti luhur. Meskipun aku besar di sekolah negeri sejak TK hingga kuliah seperti sekarang, kini hal itu tidak lagi kuberlakukan buat kedua adikku nanti. Lebih baik membayar mahal biaya pendidikan asal mereka semua terbentuk di sebuah kultur sekolah yang tidak hanya bicara nilai ujian akhir, tetapi juga membentuk kebiasaan beribadah yang baik dan berbudi pekerti luhur. Sekolah Islam adalah pilihan utama ketika orang tua pun tak begitu sanggup untuk membimbing putera-puterinya dalam hal agama.

Aku sangat kagum dengan salah satu direktur sebuah yayasan sekolah Islam yang membuat kebijakan baru untuk melakukan survey dadakan di rumah-rumah para siswanya. Waktunya pun terkadang dipilihkan ketika waktu shalat subuh dengan mendatangi masjid terdekatnya. Tujuan utamanya adalah untuk melihat apakah orang tua sang siswa serius untuk mendidik anaknya atau tidak. Karena bagaimana anak-anaknya akan rajin beribadah jika orang tuanya saja ogah-ogahan shalat berjamaah. Itu hanya salah satu bentuk supervisi untuk memastikan agar sang anak ketika telah dididik di sekolah, dirinya juga mendapatkan iklim yang sama di lingkungan keluarga. Itulah sesungguhnya sekolah yang baik, yang memang memiliki orientasi jelas untuk membentuk generasi unggul berbudi pekerti luhur.

Sekolah-sekolah yang telah melakukan manuver seperti ini tak tanggung-tanggung untuk melakukan kroscek secara mendasar hingga mewawancarai orang tua. Karena pendidikan itu komitmen bersama untuk memperbaiki masyarakat, bukan sikap lepas tangan orang tua yang acuh tak acuh. Maka sebenarnya lahirnya TPA-TPA di masjid sebenarnya bentuk keterpaksaan karena banyaknya orang tua yang belum mampu menunaikan tanggung jawabnya mengajari anak-anaknya baca tulis al-Quran. Maka akan sia-sia ketika anak-anak rajin datang ke TPA, bisa baca Quran dan bisa ini itu tetapi tidak diiringi dengan dukungan pembentukan akhlak di rumah oleh orang tuanya. Dan itulah realita pendidikan di negeri kita.

Dan satu lagi, pendidikan kita hari ini membuat orang harus pilih-pilih orang untuk belajar. Bahkan belajar pun harus butuh status. Maka sesungguhnya ini kerugian besar bagi generasi muda karena mereka tidak lagi tertarik untuk mencari sumber-sumber ilmu yang berlimpah di negeri ini. Semua hanya berjalan dalam sebuah skenario robotik yang terkadang harus dibumbui frustasi menjelang akhir tahapan, Ujian Nasional. Belajar itu dapat dilakukan di mana saja, dari siapa saja, dan dengan cara apa saja yang penting setiap orang mengerti mana yang harus dipilih dan dipilah.

Jika kita ingin bangkit, mari kita luruskan persepsi PENDIDIKAN kita secara bersama-sama. Mari lakukan, atau kita tak akan pernah melihat generasi emas di masa yang akan datang.

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.