Tak seperti biasanya, tadi malam adik-adik yang tergabung dalam Gorong-Gorong Community berkumpul semua di kos. Alasannya satu, undangan karena sedang banyak makanan dari parcel yang aku terima waktu berbagi inspirasi di FMIPA UNS. Dan mengalir saja malam ini kami nobar sebuah film Thailand (dan rasa-rasanya aku dulu juga sudah lihat itu), Suckseed.
Film yang dibintangi oleh para aktor dan aktris muda Thailand itu lebih menonjolkan sisi kekonyolan yang selalu mengundang tawa diselingi dengan kemunculan tiba-tiba (cameo) para musisi kondang Thailand, serupa namun tak sama dengan film-film India. Apa pun itu, kami tak lepas dari tawa yang menggila karena sama-sama menonton dan saling ejek melihat kekonyolan grup band Suckseed yang terdiri atas sekumpulan pecundang.
Bagiku ini memang hanya film hiburan. Aku lebih menyukai berbagai kisah konyol yang tersaji di sana dari pada mengharu biru dalam kisah asmara yang putus dari para pecundang-pecundang itu. Dan kata peresensi yang lain, film ini memang tidak seperti umumnya film Thailand yang kadang sampai menyayat hati penontonnya. Apalagi aku yang sejak awal mindset-nya sudah tidak memedulikan masalah itu.
Hal yang sibuk jadi celotehan kami adalah pada sosok pemeran-pemerannya,. Ku ambil tiga saja ya, Jirayu La-ongmanee (memerankan Ped), Pachara Chirathivat (memerankan Koong), dan tentu saja si cantik Nattasha Nauljam (memerankan Ern). Para pemeran film ini adalah para musisi yang bertalenta. Film ini merupakan bentuk integrasi antara kemampuan berakting dengan potensi yang mereka miliki dalam bermusik. Seperti halnya film India yang merupakan integrasi antara kemampuan menari (dalam budaya mereka), menyanyi dan berakting. Atau film China yang merupakan integrasi seni beladiri dan kemampuan berakting mereka.
Tak dapat dipungkiri wajah-wajah mereka memang menarik. Tak heran setelah kemunculan film yang dirilis tahun 2011 itu langsung melejitkan nama-nama mereka. Bahkan mereka usianya sebenarnya jauh dibawahku. Terutama si Nattasha Nauljam yang jago dalam memainkan gitar dan menyanyi jelaslah itu jadi bahan olok-olok kami untuk saling mengejek satu sama lain siapa yang paling maniak lihat foto-fotonya yang cantik itu.
Itu adalah hal lumrah terjadi akibat menonton film itu. Yang jadi pertanyaanku, berapa banyak film-film di negeri kita yang mengintegrasikan potensi dengan kemampuan berakting. Mungkin itu Merantau, The Raid, atau yang lain. Tentang bermusik, Kiamat Sudah Dekat. Yang pasti film-film yang mengintegrasikan kemampuan berakting dengan talenta pribadi jarang didapat di negeri ini. Maka tak heran sinetron kita lebih menonjolkan bagaimana mendengki, marah, mencaci, dan seperanakannya. Atau jangan-jangan itu talenta artis-artis kita ya? Ah masak iya, aku malu dong jadi orang Indonesia kalo talenta artis-artisnya seperti itu.
Tentu itu adalah karakter yang harus dibenahi dari industri per-film-an tanah air kita. Istilah kejar tayang harus diganti dengan kualitas tayang agar para pemirsanya tak hanya menikmati saja tetapi juga mendapatkan bagiannya sebagai pemirsa yang seyogyanya belajar. Jika yang dilihat hanya masalah kelicikan, kemewahan atau hal-hal konyol yang sangat buruk itu, bagaimana kita akan belajar tentang apresiasi. Semua hanya hobi mencibir dan mengumpat. Bahkan dalam beragama pun menasihati dengan cara baik kian ditinggalkan oleh sebagian orang yang mengaku paling beragama sehingga tak jarang mereka lebih menimbulkan kesan menyakiti dari pada menasihati.
Aku berharap yang punya cita-cita jadi artis semoga berpikir juga untuk mengasah talentanya yang lain, bukan hanya pintar menipu dengan tangis dan berbagai adegan berani karena bayaran tinggi. Ah, memalukan sekali jika itu menjadi tradisi artis di bangsa ini. Bahkan negara barat pun yang artisnya tak takut-takut untuk bertelanjang pun mereka masih bertalenta untuk memainkan sebuah peran berkelas. Bukan saatnya lagi kita jadi bangsa peniru, tetapi bangsa yang mengembalikan jati diri. Kita adalah bangsa beradab, maka seharusnya kita bangga dengan adab-adab kita yang diwariskan, bahkan itu dalam layar lebar kita.