Ini tentang pembicaraan sederhana ketika kami berdiskusi tentang hobi keluyuran kami. Kebiasaan untuk bepergian sesuka hati di sembarang tempat, mengendus realita pedesaan dan tempat-tempat yang kadang kata orang tak bermutu. Terlebih ketika kami baru saja menyelesaikan kisah petualangannya mas Agustinus Wibowo, hal itu semakin membuat kami bersemangat berdiskusi tentang Indonesia.

Ya, Indonesia, negeri yang permai (kata buku dan televisi kepada kita). Tapi sejatinya kita belum banyak tahu negeri kita yang luas terbentang dari Sabang sampai Merauke ini. Kita hanya mendengar dari mereka yang telah bepergian, katanya begini, katanya begitu, begini begitu dan sejatinya kita hanya mendengar kisah negeri fantasi itu. Terlebih ketika pemerintah terus membuat data-data statistik, entah dimengerti atau tidak membuat kita semakin jengah mendengar propaganda kemakmuran yang belum kita buktikan dengan mata kepala sendiri. Media pun boro-boro membuka realita itu, mereka lebih miring ke kiri untuk menyiarkan berita-berita laris seputar selingkuh, kriminal, hingga persoalan bentrokan. Tidak penting dan sangat tidak bermutu.

Dari pembicaraan itu kami terbawa pada arus pembicaraan tentang pelajaran Geografi atau ilmu-ilmu sejenis tentang mengenal wilayah dan penduduknya. Itu pelajaran yang sudah akrab bagi siswa sejak mengenal ilmu pengetahuan sosial hingga berpisah di kelulusan SMA (soalnya Geografi juga biasanya masih diajarkan di SMA meskipun masuk jurusan IPA dan Bahasa, tapi tidak selalu begitu). Konsep peta buta, cerita dengan gombalan yang kadang dibuat guru yang sama-sama tahu karena menonton televisi membuat Geografi terkadang menyebalkan.

Atau yang lebih parah adalah siswa diminta membaca data-data yang sangat tidak update dari buku-buku pelajaran yang sejatinya adalah informasi setahun yang lalu. Menghafal tentang berbagai tempat. Era IT sudah masuk bung, masak mereka masih diminta baca buku terbitan 2 tahun lalu.

Itu barangkali yang membuat kebanyakan kita tak banyak tertarik melakukan aktivitas rihlah. Konsep rihlah kita pun sempit, sebatas piknik atau bergembira ria ke obyek wisata.

Maka tidak perlu heran jika kita tidak memiliki cukup banyak backpacker dibandingkan dengan jumlah keseluruhan penduduk. Masih sedikit sekali dari kita yang tergerak untuk sedikit nekat dalam bepergian dengan tujuan belajar mengenal negerinya atau bahkan negeri-negeri asing. Merasuk pedalaman mengenal realita tentang negeri kita. Bahkan seumur-umur, aku baru bisa mengunjungi Jakarta pada usia 20 tahun, gila kan. Dan baru setelah itu aku mulai menyisihkan uang saku untuk bepergian dan mengunjungi tempat-tempat aneh yang tidak banyak dikenal orang. Tempat yang menceritakan realita sesungguhnya dari masyarakat kita, yang memang banyak bertolak belakang dengan ungkapan manis buku-buku khas Indonesia.

Ternyata kita sesungguhnya belum banyak mengenal tentang negeri kita. Tetapi hari ini kita telah berbangga dengan berbagai identitas asing yang melekat dalam diri kita mulai bahasanya, musiknya, hingga berbagai gaya hidupnya. Pertanyaaanya, kita ini siapa? Orang Indonesia atau orang asing. Dan inilah buah dari cara belajar Geografi kita yang masih kurang baik selama ini. Kita telah mengkotak-kotakkan ilmu secara tidak sadar hingga kita lebih sibuk menikmati ekstase pengetahuan itu untuk menjadi sekedar bahan diskusi, menjadi paper saja, tetapi kita gagal mengimplementasikannya ke dalam aktivitas nyata. Ah, malu banget aku menjadi seorang Indonesia yang hari ini gagal belajar hingga di usia 23 tahun.

Maka tidak perlu heran jika akhirnya pemilu kepala daerah pun belum dapat menjadi solusi. Dalam sudut pandangku tidaklah penting apakah mau sentralisasi atau desentralisasi. Ini menyangkut wawasan nusantara kita. Jika dulu orde baru menggunakan itu sebagai sarana doktrin, bagiku tetap penting diajarkan di sekolah, hanya saja konsepnya diubah. Mengenal Indonesia tidak cukup menjadi cerita membuai dengan lagu Rayuan Pulau Kelapa. Kita tak jadi punya industri pesawat sendiri, artinya kita akan terus membuang uang di luar negeri demi memberi si burung besi. Kita telah menutup banyak industri strategis yang itu membuat kita menjadi importer tulen. Maka saat ini politik tak cukup sebagai solusi selagi pola pikir kita dan para pemimpin kita masih sederhana seperti memakan mie instan. Mengelola Indonesia seperti memasak mie instan tentu adalah cara kerja yang lebih bodoh dari pada kucing yang mengendap-endap dan mencuri ikan di meja.

Dalam refleksi bodohku, kita mungkin telah salah belajar Geografi dan ilmu-ilmu lainnya. Tetapi kita masih punya waktu untuk membenahinya. Kita masih punya kesempatan untuk mengabdi di tempat-tempat bekerja kita. Jika kita masih ingin melihat Indonesia kita lebih baik, mari kita perbaiki pola pikir kita dan kembali bekerja dengan pola pikir baru yang lebih maju dan berorientasi kemanfaatan, bukan konsep kapitalis asing atau laten komunis yang kerap menjadi sensasi cendikia bangsa ini karena nafsu kerakusan untuk mencuri dan membantai.

1 Comment

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.